top of page

Workshop Penyusunan Naskah Rudat Greenback 2.0 Lombok Timur World Bank dan ADBMI

Sosialisasi perbankan yang dilaksanakan Bank Dunia dalam agenda program Greenback 2.0 di Lombok Timur melalui Yayasan ADBMI sebagai vendor lokal untuk 3 (tiga) Desa di Kabupaten Lombok Timur. Ketiga desa yang disasar program Greenback 2.0 ini adalah Perigi Kecamatan Suela, Loyok dan Tetebatu Selatan di Kecamatan Sikur. Sosialisasi yang akan digelar melalui pementasan pertunjukan lokal yang diharapkan dapat menarik perhatian masyarakat luas lalu kemudian dikemas dengan informasi-informasi penting terkait dengan program seperti pemahaman terhadap keuangan dan lembaga keuangan yang ada.


Sebelum melakukan pementasan sosialisasi tersebut kami sebagai langkah awal perlu dilakukan penggalian informasi terkait isu apa yang mendasar di tengah masyarakat. Oleh sebab itu, selain untuk mempertajam informasi tersebut dilakukan pendataan berlapis di mana kami menindak lanjuti pendataan sebelumnya oleh Bank Dunia untuk kembali dimukhtakhirkan. Setelah itu, barulah diolah dalam sebuah informasi yang dipapar dalam Workshop Penyusunan Naskah Rudat kemarin pada hari Senin tanggal 19 Maret 2017 di Wisma Karina Selong.

Berikut dokumen informasi yang dapat dihimpun oleh tim dari ADBMI di dua desa Loyok dan Tetebatu Selatan :

[gview file=”http://adbmifoundation.org/wp-content/uploads/2017/03/Laporan-Loyok-FINAL469.docx” height=”700px” width=”100%” save=”1″]

[gview file=”http://adbmifoundation.org/wp-content/uploads/2017/03/laporan-kegiatan-TBS467.docx” height=”700px” width=”100%” save=”1″]


Untuk selanjutnya dibahas dalam Rencana Tindak Lanjut (RTL) yang berlangsung pada hari ini Selasa, 20 Maret 2017 di Kantor Yayasan ADBMI di Jalan Diponegoro Nomor 27 Selong. Pada pertemuan RTL ini, fokus pembahasan lebih mengupas pada pointer-pointer informasi yang akan disampaikan pada pementasan Rudat besok.

Literasi Keuangan Dengan Rudat

Uang memang bukan segalanya, tapi tanpa uang, bagi sebagian orang , segalanya jadi hal yang bukan- bukan. Tentu saja adat berfikir seperti ini berkembang setelah kita mengenal uang. Punya barang/asset tapi tidak punya uang, di anggap sebuah simbol kemiskinan. Padahal kalaupun sudah punya uang di kantong, pada akhirnya akan di gunakan untuk beli barang/asset juga.


Jadi agak aneh juga. Uang yang notabenenya kertas bertulis angka, menjadi lebih bernilai di banding barang. Di kampung-kampung, warga lebih mudah dan merasa ringan untuk di minta bayar iuran dengan barang, semisal beras atau alpukat atau kopi 2 Kg setiap bulan, di banding iuran dengan cash money Rp.10 ribu. Padahal, nilai beras lebih mahal.

Distorsi persepsi dalam memberi nilai pada uang dan barang, serta kemampuan dalam memanfaatkannya untuk memenuhi standard hidup yang nyaman melahirkan klas klas kemiskinan.

Berdasarkan riset ADBMI yang di dukung bank dunia. Uang banyak masuk ke desa-desa, baik lewat transaksi bisnis langsung warga dengan warga , trasfer dari pemerintah, NGO dan TKI. Kepemilikan HP sudah nyaris 100%. Semua orang kenal dan pernah berurusan dengan lembaga keuangan yang teregulasi,. 40-an% sudah memiliki rekening. Namun secara cepat juga, uang uang itu melesat keluar desa bahkan ke luar negeri dengan jalan angsuran kredit motor, hp dan pulsa.

keberadaan lembaga dan jasa layanan keuangan yang teregulasi ini di samping memudahkan. Juga , jika tidak bijak dalam meresponsenya akan melanggengkan dan meluaskan kemiskinan di desa desa. Nah, pada point ini kita akan berudat. Sambil refreshing hiburan rakyat sambil kita beredukasi.

0 tampilan0 komentar

Comments

Rated 0 out of 5 stars.
No ratings yet

Add a rating
bottom of page