top of page

Warga Pedalaman Terusik, Terancam akan Diusir dari Kampung Halaman

Dilansir dari Webblog PINBID Desa Toya: PINBIDTOYA[dot]BLOGSPOT[dot]CO[dot]ID |

“Tanahku hilang, pulauku pun hilang,” begitulah yang terjadi saat ini. Sampet merupakan bagian dari Dusun Montor Lekong Desa Toya Kecamatan Aikmel, yang dihuni oleh 60 kepala keluarga.

Sungguh memprihatinkan setelah mendengar ujaran Bapak Sahmin (33 Th), sebagai Kepala Dusun Montor Lekong yang juga adalah warga Sampet, “masyarakat hanya sebagai penonton tidak memiliki lahan sepetakpun di sini, selain dari tanah pekarangan yang mereka tempati,” ujarnya saat ditemui oleh tim dari PINBID Desa Toya (Minggu, 11/06/2017). Jadi, siapakah yang memiliki lahan di sekelilingnya? Jawabannya sangat mengejutkan, tuan tanah di sana bukan pribumi, mereka adalah orang-orang asing beretnis Cina, bahkan lebih mencenangkan lagi mereka ada yang berasal dari luar negeri, seperti Singapura. Mereka rata-rata menguasai lahan di atas 5 hektar.

“Lebih menyedihkan lagi, kami menjadi babu di rumah kami sendiri untuk menggarap lahan mereka,” Bapak Sahmin melanjutkan. Kondisi lokasi yang berbatasan langsung dengan hutan Taman Nasional Gunung Rinjani menjadi tantangan dan kendala para penggarap lahan untuk ekstra menjaga tanaman mereka dari gangguan hewan liar seperti babi dan monyet. Selain itu, jenis tanah di sekitar Dusun Montor Lekong ini adalah tanah ampan yang kering dan tadah hujan, sehingga pertanian sulit dikembangkan di sini. Keadaan itu memancing warga untuk mengandalkan hutan demi mencukupi kebutuhan sehari-hari, seperti mengambil kayu bakar untuk dijual.

Begitulah potret kemiskinan di Dusun Montor Lekong ini, oleh sebab itu warga Dusun Montor Lekong banyak yang pergi meratau keluar negeri seperti ke Malaysia dan Saudi Arabia dengan harapan utamanya dapat membangun rumah yang lebih layak. Bahkan ada juga warga yang pergi bertransimigrasi ke Kalimantan, mencari lahan baru untuk menyambung hidupnya. Sebab lahan dan pekarangannya yang dulu miliknya telah menjadi milik orang lain dengan alasan kemiskinan.

Lokasi yang terpencil dengan penduduk yang kecil menjadikan kami luput dari perhatian. Warga Sampet baru merasakan penerangan dengan lampu listrik sejak 3 tahun terakhir ini. Dan sebelumnya mereka hanya menggunakan lampu lentera Copok (Sasak: lampu tradisional). Dari tingkat pendidikan warga Montor Lekong khususnya masih tergolong rendah, dilihat dari untuk saat ini hanya baru tiga orang pelajar yang tengah mengenyam pendidikan di perguruan tinggi, lulusan SMA masih terbatas. Hal tersebut dipengaruhi jarak tempuh masyarakat dan akses jalan yang sulit dilalui menjadi pertimbangan sehingga angka putus sekolah masih cukup tinggi di sana. “Sekolah-sekolah SD dan SMP harus saja harus menempuh pejalanan 2 kilometer dengan jalan kaki dari Sampet. Kalau sehari? Ya mereka berjalan 4 kilometer. Makanya anak-anak kami selalu pulang terlambat sampai di rumah, di jalan mereka berteduh dulu di bawah pohon-pohon karena kepanasan,” tutur Bapak Sahmin pada kami. (Maryam)

0 tampilan0 komentar

Comments

Rated 0 out of 5 stars.
No ratings yet

Add a rating
bottom of page