top of page

Semacam Batu Terkikis Air

Oleh : Widy Harwin |

Budaya patriarkhi seakan merasuk ke dalam DNA setiap warga asli Pulau Pedas (Lombok), tidak terkecuali daerah Lombok Timur. Secara harfiah, sebenarnya nama Lombok yang dipilih oleh nenek moyang pada jaman dahulu berasal dari kata Lomboq yang artinya lurus. Harapannya tentu saja agar segala sesuatu yang dilakukan, dipikirkan adalah sesuatu yang lurus, benar, baik, bijaksana dan semacamnya. Namun sayangnya, pada praktek kehidupan sehari-hari warga Lombok masa kini, lebih banyak mempraktekkan kehidupan sosial yang sangat timpang antara laki-laki dan perempuan. Perempuan menjadi pihak yang rentan, pinggiran, dinomor duakan, lemah dan harus dilindungi dengan kekuatan penuh sehingga peran perempuan dalam segala hal dikesampingkan dan segala pekerjaannya dianggap tidak lebih penting daripada pekerjaan laki-laki. Hal ini juga didukung oleh pemahaman masyarakat yang sangat buruk terhadap beberapa hal dalam agama Islam (sebagai agama yang dianut paling banyak di Lombok) yang mengatur tentang perbedaan laki-laki dan perempuan. Pemahaman agama yang buruk ini semakin diperkuat dengan pergeseran makna adat-istiadat yang dipengaruhi oleh dunia modern, praktek dari para pemuka masyarakat dan agama yang terang-terangan menyimpang namun pintar memilih kalimat pembenaran (ex: tuan guru yang berselingkuh berujung poligami) sehingga masyarakat awam sebagai pengikutnyapun turut melakukan hal yang sama dan bermuara pada selentingan masyarakat yang berkata “ah, itu sudah biasa!”. Alhasil, keburukan yang dibungkus dengan pembenaran atas nama agama dan adat menjadikan patriarkhi sebagai warisan turun temurun. Buruknya lagi, meskipun perempuan diletakkan sebagai korban dalam patriarkhi, jumlah perempuan yang juga membuat perempuan lainnya menjadi korban patriarkhi juga tidak sedikit. Artinya, patriarkhi bukan milik laki-laki, tetapi perempuan juga punya andil.

Ditempa dengan perkembangan dunia modern yang sangat pesat, kini patriarkhi memiliki pola baru dalam beradaptasi. Jika pada masa sebelumnya, perempuan sangat dilarang keras untuk keluar malam atau keluar rumah tanpa ada keluarga laki-laki yang menemani dengan berbagai alasan seperti terketik dengan warna biru di atas, kini perempuan sudah bisa menghirup udara malam, udara di luar rumah meskipun tanpa ditemani keluarga laki-laki, yaitu dengan bekerja. Alasan pekerjaan adalah jalan keluar paling jitu bagi kaum perempuan masa kini untuk sedikit menghindar dari hiruk-pikuk kehidupan patriarkhi dengan berbagai latar belakang alasan, terutama alasan ekonomi. Berbagai profesi yang sebelumnya hanya dikerjakan oleh laki-laki kini justru banyak dilakukan juga oleh perempuan. Pegawai bank, pelayan restoran, kasir di pusat perbelanjaan, sekretaris kantoran, TKI, buruh pabrik, mekanik di bengkel, sales pemasaran dan banyak lagi profesi lainnya adalah beberapa contoh pekerjaan yang menuntun perempuan untuk mandiri tanpa harus menggantungkan nasib ekonomi pada kaum laki-laki. Di satu sisi, hal ini maha-positif (tingkatan kata positif yang paling tinggi), namun jika kita memang memiliki sensitifitas pada gender, membiarkan wanita bekerja membanting-tulang adalah pemerasan, eksploitasi, pemanfaatan maha-kejam. Bagaimana tidak? Sementara isteri bekerja membanting tulang, suami dengan tenang dan santai menonton TV di rumah, nongkrong bersama teman-teman (kasus suami pengangguran dan malas bekerja). Tetapi ada juga suami yang sama-sama lelah bekerja untuk mencukupi ekonomi keluarga di siang hari, dan isteri? membereskan pekerjaan selanjutnya yaitu melakukan pekerjaan rumah tangga sedangkan suami istirahat dengan tenang menikmati suguhan kopi dan makanan ringan tanpa ada rasa belas kasihan kepada isterinya karena yang tertanam di otak dan di jiwanya adalah “kewajiban isteri adalah melayani suami”. Pemahaman yang sangat tidak patut untuk disaring oleh otak karena sedianya pemikiran yang belum terserap sempurna tersebut hanya layak berada setingkat dengkul alias lutut. Di mana posisi perempuan sebagai mahluk yang lemah, perlu dilindungi dan semacamnya? Otak dan badan tidak sinkron, pemikiran dan tindakan bertolak-belakang.

Bagaimana merubah pola pikir patriarkhi ini? Senjata yang digunakan harus sama dengan proses pembentukannya yaitu meluruskan pemahaman masyarakat mengenai nilai adat-istiadat yang sebenar-benarnya, pemahaman tentang agama yang lurus, benar dan bagaimana adat dan agama memandang kaum perempuan serta perannya dalam bermasyarakat, rumah tangga dan lain sebagainya. Untuk hal ini perlu pendekatan yang sangat panjang dan membutuhkan pihak-pihak yang benar-benar mengerti karakteristik masyarakat, adat serta agama setempat.

Kapan pola pikir ini bisa berubah? Sesuai dengan proses terbentuknya patriarkhi yang membutuhkan waktu sangat lama, begitu pula jika ingin merubahnya,

Semacam batu yang terkikis air.
0 tampilan0 komentar

Postingan Terkait

Lihat Semua

Comments

Rated 0 out of 5 stars.
No ratings yet

Add a rating
bottom of page