top of page

Pernikahan Dini Merarik “Kodeq” Bukan Tradisi, UPTD PPA : Perkara Ekonomi

Ini kisah seorang perempuan belia yang belum cukup umur (Kodeq) untuk menikah (Pernikahan Dini), namun ia memilih menikah karena masalah pendidikan yang tak karuan akibat pandemic covid 19 yang melanda dunia. Timbang Sekolah, Serean Merarik Kodeq bermakna “daripada Sekolah, Lebih Baik Menikah Dini. Masalah ini semakin kuat ketika mencuatnya kasus pandemic covid 19 yang memaksa kita berdiam diri di rumah tanpa ada kerjaan. Tanpa ada kegiatan. Apalagi sekolah pada saat itu lumpuh dan memaksa pihak sekolah meliburkan peserta didiknya.

Kisah ini merupakan cerita nyata dari perempuan selatan pulau Lombok. Ia menikah di usia 15 tahun dan kini sudah dikaruniai seorang anak yang baru berumur satu tahun satu bulan. Sang suami entah kemana. Ia ditinggal pada saat usia kandungannya berumur 6 bulan.

Hidup dalam status “digantung” suami membuat ia frustasi. Akhirnya ia memilih untuk pulang ke rumah dan berkumpul dengan sang ibu beserta anaknya.

*****

Pernikahan Dini "Merarik Kodeq" Bukan Tradisi, UPTD PPA: Perkara Ekonomi

Photo Istimewa : Penjangkauan kasus pernikahan dini di kecamatan Jerowaru kabupaten Lombok Timur oleh UPTD PPA.


Sehari Bersama UPTD PPA Lombok Timur, 4 Kasus Yang Harus Di Jangkau Dengan Armada dan Personil Yang Terbatas.

adbmi.org Sebut saja Bunga (nama samaran), kaget melihat kedatangan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan Dan Anak (UPTD PPA) kabupaten Lombok Timur yang tiba – tiba datang ke rumahnya. Dengan raut wajah penuh dengan pertanyaan, Bunga mencoba memberanikan diri untuk menanyakan maksud dan kedatangannya.

Sang anak saat itu berada dipangkuan sang nenek, ibu dari Bunga. Sembari mempersilahkan duduk, Bunga masih belum bisa menyembunyikan raut muka gemetar saat disambangi UPTD PPA Lombok Timur.

Bunga merupakan perempuan yang menikah di usia 15 tahun dan kini sudah memiliki anak yang berumur satu tahun satu bulan. Ia merupakan perempuan kelahiran kecamatan Jerowaru kabupaten Lombok Timur provinsi Nusa Tenggara Barat.

“bapak ibu dari mana,” ungkapnya menanyakan kepada UPTD PPA Lombok Timur.

“kami dari UPDT PPA Lombok Timur. Kami kesini ingin penjangkauan,” terang Yuyun kepala UPTD PPA Lombok Timur kepada bunga dan ibunya.

Yuyun Menjelaskan maksudnya kedatangannya ke rumah bunga untuk penjangkauan. Melihat keadaan bunga serta anaknya yang masih belia. UPTD PPA sendiri mendapatkan informasi terkait Bunga dari salah satu kader posyandu di wilayah bunga. Ditemani pihak puskesmas kecamatan Jerowaru beserta kader posyandu, UPTD PPA menyambangi rumah bunga.

“bagaimana keadaannya saat ini beserta sang anak??,” terang Yuyun menanyakan keadaan Bung yang kini tidak lagi tinggal di rumah mertuanya.

Bung sendiri merupakan salah satu target penjangkauan hari ini. Bayangkan saja, setiap hari UPTD PPA bisa menjangkau empat lokasi dengan armada yang terbatas serta personil yang terbatas. Dari ujung selatan sampai utara. Dari ujung barat sampai ujung timur kabupaten Lombok Timur.

“saya sudah beberapa bulan ini tinggal dengan ibu. Suami saya entah kemana,” terang Bung sembari melihat tajam Yuyun. Terlihat pula mata yang berkaca – kaca menjelaskan keadaanya sampai saat ini. Tidak ada uluran tangan sang suami kepada anak mereka berdua.

Bunga juga menceritakan awal mula kenapa ia menikah dengan sang suami, padahal waktu itu ia masih sekolah. Di berugak depan rumahnya, ia duduk dengan beberapa personil UPTD PPA.

“saya berfikir tidak ada kejelasan saat itu dari pihak sekolah. Terlebih pandemic Covid 19. Daripada saya menjadi beban keluarga, lebih baik saya menikah dengan pacar saya,” terangnya kepada UPTD PPA.

Ia bahkan sangat menyesali keputusannya menikah dini. Suami tidak ada pekerjaan dan mereka masih menumpang dengan mertua. Namun apalah daya, nasi sudah menjadi bubur.

Sampai kini pun ia belum bekerja. Sementara sang ibu harus menanggung dirinya dan anaknya. Mereka bertiga tinggal satu rumah. Sementara sang ibu sudah berkepala lima. Ibunya pun tidak memiliki penghasilan tetap. Jika ada yang memintanya bekerja menjadi buruh, ia tetap menerima meskipun usai sudah tidak kuat lagi.

Ibunya pun pada saat itu tak mengizinkannya untuk menikah. Ibunya keras hati bekerja agar ia tetap sekolah. Namun karena kecintaannya kepada sang pacar, ia terhasut rayuan yang kini menjerumuskannya.

******

Pernikahan Dini "Merarik Kodeq" Bukan Tradisi, UPTD PPA: Perkara Ekonomi

Photo Istimewa : Penjangkauan yang dilakukan oleh UPTD PPA di kecamatan Jerowaru kabupaten Lombok Timur.


Tingginya Pernikahan Dini Di Kabupaten Lombok Timur. Bukan Tradisi, Namun Karena Alasan Ekonomi

Pernikahan dini masih menjadi pro kontra di Kabupaten Lombok Timur. Di samping penganugrahan kabupaten layak anak yang diberikan kepada Kabupaten Lombok Timur dari kementerian pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak Republik Indonesia ternyata masih menyimpan banyak kontroversi.

Banyak yang menganggap bahwa tingginya kasus di kabupaten Lombok Timur karena tradisi masyarakat yang memang sudah sedari dulu. “merarik kodeq” kerap diidentikan dengan tradisi yang kemudian tidak bisa kita tanggulangi. Apalagi ada tradisi “memaling” yang menjadi cirri khas sebelum kedua mempelai menikah. Calon mempelai pria akan menculik perempuan yang akan di ajaknya untuk membangun rumah tangga. Ini adalah salah satu pembuka gerbang tingginya kasus pernikahan dini di pulau Lombok. Padahal pandangan ini belum tentu benar.

Masyarakat di beberapa wilayah di kabupaten Lombok Timur terutama memiliki kebiasaan membuat kain tenun ataupun kain sesek. Perempuan tidak boleh menikah sebelum mereka bisa menyesek atau menenun. Bahkan masyarakat juga memandang, kaum perempuan boleh menikah ketika mereka sudah mahir mengurus kebutuhan rumah tangga. Mereka bisa memasak, mencuci dan membersihkan rumah baru mereka bisa menikah.

Sementara kaum pria, mereka boleh menikah ketika mereka sudah mampu mencari sumber pendapatan. Mereka berburuh, merantau sampai ke negeri seberang demi membuktikan cintanya kepada kaum perempuan dan membuktikan kepada keluarga bahwa mereka sudah layak untuk menikah.

Namun faktanya, kasus pernikahan dini ini kerap kali muncul karena alasan yang paling inti. Ekonomi keluarga. Banyak mereka, terutama perempuan yang tidak ingin terus terusan menjadi beban keluarga sehingga mereka terpaksa untuk menikah. Sisanya karena cinta yang mendesak.

Akhirnya banyak masyarakat, terutama muda – mudi Lombok Timur yang memilih untuk merantau ke luar negeri. Untuk mencari modal menikah, membangun rumah dan untuk mempertahankan ekonomi keluarga.

Bagi kaum perempuan, rumah bukan hanya menjadi tempat ternyaman. Namun juga tempat yang aman. Tempat berkeluh kesah. Tempat pulang ketika lelah. Bahkan tempat untuk membangun mimpi. Namun kini, di rumah perempuan selalu menjadi tujuan bermuaranya kesalahan. Tidak bekerja, mereka akan menjadi tujuan sumber segala masalah.

Rumah kadang tidak menjadi ruang menuhpahkan keluh kesah. Justru mereka menjadi tujuan dari omelan – omelan orang tua. Akhirnya mereka mencari tempat yang nyaman dan akhirnya mereka memilih untuk menikah meskipun usia yang belia. Bunga salah satunya.

Karena alasan ekonomi keluarga, ia terpaksa memilih untuk membangun rumah tangganya sendiri. namun apalah daya, dasar yang tidak kuat sehingga membuat mereka terombang ambing karena lantaran alasan ekonomi pula.

Niatya baik, tidak ingin menjadi beban keluarganya. Namun akibatnya, karena suami masih belum memiliki penghasilan tetap, ia dan suami menjadi beban mertua.

“saya bahkan dikasih 20 ribu di usia kandungan saya 6 bulan. Itu untuk memenuhi kebutuhan saya. Namun itu sekali perdua minggu,” terangnya mengingat kembali kisah hidupnya yang pilu.

1 tampilan0 komentar

Comments

Rated 0 out of 5 stars.
No ratings yet

Add a rating
bottom of page