top of page

Pergi Jadi Migran, Pulang Jadi Juragan

Gelombang Covid 19 beberapa tahun lalu masih dirasakan sampai saat ini dampaknya. Ekonomi masih berupaya untuk terus tumbuh di berbagai sektor. 
Tak ada yang terlupa, semua merasakan dampak dari gelombang pandemi covid 19. Dari negara adidaya, maju, berkembang sampai dengan negara miskin. Dari pusat kota, sampai dengan pelosok desa pula merasakan dampak dari pandemi covid 19. 
Kita belajar dari ancaman covid 19 yang membatasi ruang gerak kita. Roda ekonomi tak berputar, tertahan tanpa ada perubahan ke arah peningkatan, justru, ekonomi kian merosot. Lambat Laun meningkatkan angka kemiskinan dan pengangguran. Pemerintah tak menyiapkan lapangan kerja yang sepadan dengan angkatan kerja, menjadi pekerja migran Indonesia adalah solusi. 

Poto Istimewa : ADBMI Foundation

adbmi.org - Irfan Muliadi, 27 tahun, kepala wilayah Dusun Badui Desa Jerowaru Kecamatan Jerowaru menyambut tim peneliti dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ). Di berugak depan rumahnya, Irfan Muliadi menyambut dengan hangat setiap tamu yang datang, tak terkecuali para peneliti dari UMJ. 


Irfan, sapaan akrabnya, akan membawa para peneliti yang di pimpin oleh Dr. Nani Nurani Muksin,M. Si., untuk bertemu dengan para purna pekerja migran Indonesia. Terkhusus mereka yang telah menjadi "juragan" setelah menjadi pekerja migran. 


Dusun Badui salah satu dusun penghasil terasi di desa Jerowaru. Selain Badui, Dusun Jor juga salah satunya. Dua dusun tersebut memiliki ciri khas yang sama, berada di pesisir pantai dan juga menjadi sumber penghasil terasi terkenal di Lombok. 

Poto Istimewa : tim peneliti dari Universitas Muhammadiyah Jakarta saat berkunjung ke Desa Jerowaru Kecamatan Jerowaru.

Terasi Jor atau terasi Jerowaru menjadi salah satu unit usaha yang dikembangkan oleh masyarakat. Terutama masyarakat di Dusun Jor dan Badui Desa Jerowaru Kecamatan Jerowaru Kabupaten Lombok Timur, NTB. 


Ada puluhan usaha mikro kecil menengah (UMKM) yang fokus memproduksi terasi. UMKM - UMKM tersebut memiliki merk tersendiri dengan pangsa pasar yang sudah tembus luar daerah. 


"Ada juga yang bisa mengirim sampai ke luar negeri," terang Irfan saat mendampingi tim peneliti dari UMJ tersebut. 


Termasuk purna pekerja migran, sambung Kepala wilayah Dusun Badui tersebut, banyak dari mereka yang pulang bergelut dengan terasi. "Ada yang jadi buruh terasi, ada juga yang jadi bosnya." 


Tak jarang, para purna PMI dan keluarganya sulit untuk "move on" dari rutinitas menjadi pekerja migran Indonesia. Banyak faktor yang mempengaruhi, lapangan kerja yang minim, angkatan kerja yang tinggi, serta sumberdaya manusia yang masih rendah. 


Selain itu juga faktor internal, minimnya pengetahuan para purna PMI dan keluarganya dalam pengelolaan keuangan. Lebih memilih membangun rumah, membeli kendaraan dibandingkan untuk mengembangkan usaha. 


Diwaktu yang berbeda, Ahmad Turmudzi salah satu pengusaha Terasi di desa Jerowaru Kecamatan Jerowaru. Usianya relatif muda, 25 tahun. Namun ia sudah bisa menembus pasar Bali untuk suplai terasi miliknya. 

Poto Istimewa : ADBMI Foundation

Ahmad Turmudzi bukan purna PMI, namun ia mempekerjakan para purna PMI dan keluarganya dalam mengembangkan usaha terasi yang ia beri merk "Terasi Lombok."


Ahmad Turmudzi mengungkap bahwa usahanya ini bisa mempekerjakan lebih dari 10 pekerja. Mulai dari produksi sampai dengan packaging terasi. Sampai dengan pengiriman. 


Dominan, para pekerja yang ada di lingkungannya adalah purna PMI dan keluarga PMI. 


"Mereka yang sudah lelah menjadi perantau dan ingin mencoba penghidupan dari usaha Terasi," terangnya. 


Etos kerja yang tinggi, menjadi ciri utama para purna PMI. "Mungkin karena kebiasaan bekerja di luar negeri jadi pemicu." 


Bangkit Pasca Pandemi Covid 19 

Poto Istimewa : Hilmiani salah satu pengusaha di Desa Jerowaru Kecamatan Jerowaru

Pada tahun 2021, periode Juni - Juli, sekitar 7.300 pekerja migran Indonesia dipulangkan dari Malaysia karena lonjakan Pandemi Covid 19 di negeri Jiran Malaysia. Pemerintah kerajaan Malaysia saat itu sampai memberlakukan Lockdown di semua sektor, ekonomi, pendidikan dan bahkan pekerjaan. 


Para pekerja di batasi, baik jumlah maupun jam operasionalnya. Termasuk para pekerja ladang, menjadi salah satu sektor yang paling banyak dipulangkan ke tanah air. 


Pasca Covid 19, ada yang kembali merantau ke luar negeri. Banyak pula yang berdiam diri, membangun usaha dan mulai merintis bisnis. Salah satunya, Hilmiani. 


Hilmiani adalah purna PMI eks Timur Tengah yang kini mencoba memulai bisnisnya dengan berjualan online. Ia memanfaatkan potensi sekitar, baik sumber daya laut sampai dengan hasil olahan laut. Termasuk ikan dan terasi. 


Hilmiani adalah purna PMI penempatan Dubai dan bekerja pada sektor informal menjadi pekerja rumah tangga. 


Beruntung Hilmiani pulang pada tahun 2019, ketika baru munculnya Covid 19 di Wuhan China. 


Bisnis onlinenya ini dilakoni bermula dari situasi Pandemi Covid 19. Banyak masyarakat yang tidak bisa menjual hasil tangkapan ikannya, banyak pula masyarakat yang tidak bisa ke pasar karena aturan pembatasan waktu itu. 


Perempuan asal Desa Jerowaru Kecamatan Jerowaru tersebut menjadi penghubung antara pasar dan pembeli, antara pengusaha dan juga pembeli. 


Dengan keahliannya di bidang IT, ia bisa menghasilkan cuan dari berjualan secara online. 


Produksi Terasi Jerowaru Masih Memanfaatkan Sumber Panas Matahari 

Poto Istimewa : ADBMI Foundation

Dalam penelitian yang dilakukan oleh tim peneliti dari Universitas Muhammadiyah Jakarta yang berjudul "Kontribusi Komunikasi Kelompok Pekerja Migran Indonesia Purna Dalam Pengembangan Usaha Berbasis Potensi Lokal dan Green Economy." Penelitian ini mengambil Pekerja Migran Indonesia purna sebagai subjek. Peneliti dari Universitas Muhammadiyah Jakarta ( UMJ) yang di pimpin oleh Dr. Nani Nurani Muksin,M. Si., ini  merupakan pemenang hibah kompetisi DRTPM Kemendikbudristek  tahun 2024.


Green economy adalah salah satu isu pembangunan yang sedang trend. Selain itu juga blue economy. Memiliki kesamaan, fokus pada isu lingkungan. 


Green economy adalah salah satu konsep pengembangan ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kesetaraan sosial masyarakat sekaligus mengurangi resiko kerusakan lingkungan. 


Green economy bertujuan untuk mengurangi emisi karbon dan dampak negatif lainnya terhadap lingkungan. 


Konsep ekonomi hijau atau green economy tidak jauh berbeda dengan konsep ekonomi biru atau blue economy. Ekonomi hijau menempatkan fokus pada pemanfaatan ekonomi yang berkelanjutan dengan melibatkan penggunakan sumberdaya alam secara bertanggung jawab, mengurangi polusi dan memanfaatkan energi terbarukan. 


Sementara itu, blue economy memfokuskan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan pada sektor kelautan, dengan menekankan pentingnya pelestarian ekosistem laut.  


Konsep green economy salah satunya bisa dilihat pada produksi Terasi di desa Jerowaru Kecamatan Jerowaru kabupaten Lombok Timur. Para pelaku usaha memanfaatkan energi panas matahari sebagai salah satu cara untuk memaksimalkan produksi. 


"Matangnya bagus dan merata dan juga tentu irit biaya serta ramah lingkungan," terang Ahmad Turmudzi, pengusaha terasi asal Dusun Badui Desa Jerowaru. 


Masyarakat bisa saja menggunakan oven untuk proses pemanasan. "Tapi matangnya tidak merata, ada juga yang gosong." 


Pemanfaatan oven pada produksi Terasi biasanya dilakukan pada saat musim penghujan, "biasanya musim hujan. Tidak bisa menjemur, sementara produksi terus berlanjut.


Di samping itu, para peneliti dari Universitas Muhammadiyah Jakarta ( UMJ) yang di pimpin oleh Dr. Nani Nurani Muksin,M. Si., terkesima dengan proses pembuatan terasi di Desa Jerowaru Kecamatan Jerowaru. 

Poto Istimewa : tim peneliti Universitas Muhammadiyah Jakarta

Pemanfaatan sumberdaya alam, berupa panas matahari dilakukan dengan sangat baik sekali untuk memproduksi terasi. 


Diketahui, Green Economy menjadikan sumber panas matahari sebagai salah satu energi terbarukan. 


"Dengan pemanfaatan sumberdaya alam secara bertanggungjawab, kita bisa berupaya secara bersama - sama mengurangi polusi dan juga efek rumah kaca," terang Nani selaku ketua tim. 


Diketahui, pemerintah Indonesia menargetkan nol emisi karbon (net zero emission) pada tahun 2060. Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah menargetkan dana sekitar Rp 28.223 Triliun. 


"Kebutuhan dana yang besar itu perlu di dukung dengan penerapan konsep ekonomi hijau," tutup Nani. 

21 tampilan0 komentar

Comments

Rated 0 out of 5 stars.
No ratings yet

Add a rating
bottom of page