top of page

Perempuan Mandalika Menjadi Tulang Rusuk Juga Menjadi Tulang Punggung

adbmi.orgPerempuan Mandalika masih berjuang hidup ditengah gilasan pembangunan di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika. Mereka tak hanya menjadi tulang rusuk bagi pasangan, namun bahkan menjadi tulang punggung bagi keluarga.

Kehidupan yang begitu keras dan sulit di tengah kuatnya persiangan membuat mereka hanya menjadi penonton ketika banyaknya event–event sekelas internasional diselenggarakan di sana. Selain kekurangan pembiayaan, mereka juga kekurangan keahlian sehingga menjadikan mereka sebagai buruh dii rumah sendiri.

Sedang laki–laki, mereka hanya menjadi pekerja – pekerja kasar yang dominan menggunakan otot dan bukan otak. Mereka hanya diberikan lapangan pekerjaan yang sesuai dengan keahlian mereka yang hanya menadi pekerja kasar. Menjaga keamanan kawasan KEK Mandalika salah satunya.

Jika tak mau seperti itu, mereka harus berjuang keras. Mereka harus mengorbankakn waktu untuk keluarga demi sesuap nasi dan segenggam mimpi.

Keterlibatan perempuan dalam geliat pembangunan ekonomi di kawasan KEK mandalika hanya memposisikan perempuan asli Mandalika sebagai pekerja kasar seperti mencuci piring, bersih – bersih. Jarang sekali mereka yang membangun usaha sendiri dan mempekerjakan orang.

Maka penting sekali keterlibatan semua elemen dalam pemberdayaan masyarakat di kawasan KEK Mandalika. Sehingga WSBK sampai dengan Moto GP bukan hanya event yang memberikan keuntungan bagi penyelenggara, namun juga mampu memberikan kesejahteraan bagi masyarakat setempat.

Perempuan Mandalika Bukan Hanya Menjadi Tulang Rusuk, Namun Juga Tulang Punggung Keluarga

Photo Istimewa : Para peserta pelatihan penyusunan rencana bisnis yang diselenggarakan oleh konsorsium ADBMI dan LGBS di desa Kuta Mandalika.


Geliat Mandalika sudah tergaungkan sampai kancah Internasional. Namun belum mampu memberikan dampak yang signifikan bagi masyarakat. Pendidikan masih belum rata. Pernikahan dini masih tinggi. Pelaku wisata masih di dominasi orang – orang luar sampai dengan banyaknya masyarakat yang menjadi janda ataupun duda dan ujung – ujungnya merantau ke Luar Negeri untuk menjadi pekerja.

Pembangunan imfrastruktur yang digeliatkan pemerintah belum terselesaikan. Apalagi program Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang memberikan bantuan homestay kepada setiap kepala keluarga yang memiliki lahan. Namun apalah daya, setelah WSBK dan Moto GP, masyarakat diminta untuk melanjutkan sendiri pembangunannya. Alhasil, banyak yang belum melanjutkan pembangunan karena terkendala dengan modal.


Selain itu juga, banyak para pelaku homestay yang ada di kawasan Mandalika belum bisa memiliki jejaring untuk mendatangkan pelanggan. Sehingga, homestay hanya menjadi bangunan yang megah namun tak berpenghuni.

Dari banyaknya persoalan ini, perempuan kerap kali menjadi korban yang paling merasakan dampaknya. Sehingga ini yang menuntut mereka melawan hukum social yang mewajibkan perempuan hanya di dapur, sumur dan kasur. Jika tidak demikian, maka mereka akan mati perlahan seiring geliat pembangunan yang menjadikan KEK Mandalika sebagai pasar pariwisata global. Inilah yang menuntut mereka untuk bukan hanya menjadi tulang rusuk, namun juga tulang punggung bagi keluarga.

Perempuan Mandalika Bukan Hanya Menjadi Tulang Rusuk Namun Juga Tulang Punggung Keluarga

Photo Istimewa : Husein Irama Yanthy saat membungkus jajanan yang dibuatnya.


* Pelaku Usaha Kecil Berharap Penyedia Jasa Pariwisata Berdayakan Usaha Lokalan *

Jari – jemarinya begitu cekatan melipat kotakan yang terbuat dari kardus yang dibeli di warung kelontong pinggir jalan beberapa waktu yang lalu. Kotakan itu akan digunakan untuk menjadi wadah jajanannya. Satu persatu ia rapikan dengan cara dilipat sesuai pola. Kecepatan tangannya melebihi orang rata – rata karena memang sudah biasa ia lakukan.

Setelah itu, ia membungkus jajanan yang dibuatnya tadi pagi dengan plastic khusus. Ada jajanan kering, ada pula jajanan basah. Rata – rata dibungkus menggunakan plastic lalu dimasukan ke kotakan yang sudah dilipat.

Satu kotak berisi minimal tiga jenis makanan dan ditambah dengan air gelas kemasan serta tisu. Isiannya pun tergantung berapa harga yang diminta oleh pembeli dan isianya apa saja tergentung selera pembeli. Sementara jajanan ini bersumber dari usaha kelompok. Ada yang dibuat sendiri, ada pula yang dibuat oleh anggota kelompok lainnya. Husein Irama Yanthy adalah satu dari sedikitnya perempuan Kuta Mandalika yang memilih untuk berdikari. Berdiri di bawah kaki sendiri. ia memilih jalan juang untuk bertahan hidup dengan cara membuat jajanan tradisional.

Setiap hari, sedari malam sampai dengan pagi hari ia mengolah jajanan sampai dengan mengantarkan ke warung – warung pinggir jalan di desa Kuta Mandalika. Setelah itu, ia langsung berangkat ke Sekolah untuk mengajar di Taman Kanak – kanak (TK) Dharma Wanita Kuta. “di sekolah sampai jam 10.00, kadang pulang jam 11.00,” terangnya saat ditemui beberapa waktu yang lalu.

Perempuan – perempuan desa Kuta merupakan orang pilihan. Mereka menembus badai, menerjang gelombang, menahan panas dan hujan dan bahkan melawan stigma social yang memposisikan perempuan sebagai makhluk kelas dua.

Perempuan yang akrabnya di sapa Yanthy ini berharap para perempuan Mandalika bisa berdaya dan diberdayakan. Perlu keterlibatan semua elemen untuk meningkatkan taraf ekonomi perempuan di Mandalika.

“kami tidak cukup dengan hanya mengandalkan gaji suami. Kami juga harus pandai mencari dengan cara menjajakan jajanan tradisional,” terangnya sembari membungkus jajanannya yang akan siap di antarkan ke kantor desa Kuta kecamatan Pujut Lombok Tengah. Kebetulan beberapa hari ini ia dipercaya untuk menyediakan jajanan untuk para peserta pelatihan penyusunan rencana bisnis yang diselenggarakan oleh konsorsium ADBMI dan LGBS.

Ia merupakan keluarga pekerja migrant. Suaminya sering melalang buana ke luar negeri untuk mencari pekerjaan. Kadang ke Malaysia. Kadang pula ke Arab Saudi demi untuk bisa bertahan hidup. Sementara Yanthy sapaan akrabnya, sudah sejak pandemic merintas usaha jajanan basah maupun kering. Ia sangat terdampak pandemic Covid 19.

Pandemic Covid 19 memaksa ia untuk tidak bergantung terus kepada suami. Sementara pekerjaan sang suami hanya menjadi tukang keamanan kawasan Mandalika dan bahkan terancam di PHK. Akhirnya ia memutuskan untuk membuka usaha.

Seiring berjalannya waktu, usahanya ini semakin berkembang. Begitu juga diikuti oleh perempuan Kuta Mandalika lainnya. Meski jajanan yang dibuatnya tak langsung ia jual sendiri, namun di titip di pinggir – pinggir jalan, itu bisa memenuhi kebutuhannya setiap hari dengan keluarga.

“kami berharap keterlibatan pelaku wisata seperti hotel dan homestay bisa mengambil jajanan olahan dari warga kuta. Ini sebagai bentuk pemberdayaan kepada pelaku usaha,” terangnya.

Mungkin Yanthy adalah suara perwakilan dari semua keinginan masyarakat Kuta yang ingin jajanannya bisa masuk penginapan yang mewah dan megah. Bukan karena apa apa, namun ini untuk pemberdayaan masyarakat kawasan ekonomi khusus mandalika.


Keterangannya, hotel – hotel yang ada di kawasan KEK Mandalika jarang memberikan kontribusi kepada usaha lokalan. Mereka kerap kali memilih ke Praya ibu kota Lombok Tengah dan bahkan sampai ke Mataram hanya demi menyediakan jajanan untuk para pengunjung hotel. Sehingga, uang yang seharusnya datang dan berputar di Mandalika justru di bawa ke luar kawasan. Bahkan ke luar negeri karena pemilik hotel kebanyakan orang luar negeri.

Dengan melibatkan usaha lokalan, setidaknya pemberdayaan masyarakat kawasan pariwisata bisa lebih terasa. Mereka tidak kekerangan perhatian, namun mereka kekurangan sentuhan.

“pun jika jajanan kami tak sesuai dengan kualitas hotel, kami bisa tingkatkan. Asalkan ada kejelasan,” terang perempuan berusia hamper 50 tahun tersebut.

Memang hamper disetiap kawasan pariwisata selalu memiliki permasalahan yang sama, masyarakat kurang dilibatkan sepenuhnya. Sehingga kesenjangan bukan lagi barang tabu, bahkan diperjelas.

0 tampilan0 komentar

Comments

Rated 0 out of 5 stars.
No ratings yet

Add a rating
bottom of page