top of page

Perempuan Berdaya

Dilansir dari d’Ladies Lombok Post (Edisi 28 Mei 2017) | Para mantan Tenaga Kerja Wanita (TKW) dan istri para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Desa Pringga Jurang Utara, Kecamatan Montong Gading, Kabupaten Lombok Timur berjuang untuk hidup. Melalui berbagai usaha rumah tangga, mereka ingin kelak tidak harus menggantungkan hidup dari menjadi kuli di negeri orang.

Aisah bergegas menuju dapur terbuka di halaman rumahnya. Minyak yang dioleskan di atas penggorengan sudah panas. Di dapur seluas 4×4 meter berlantai tanah itu, Aisah mengecek semua perlengkapan masaknya. Dia menuangkan adonan tepung ke dalam sebuah kaleng bekas yang sudah dilubangi bagian bawahnya. Kaleng itu dilubangi dengan paku kecil. Dari lubang itu, adonan itu dituangkan ke atas penggorengan. Aisah memukul-mukul kayu yang menjadi tangkai kaleng itu. Gerakan memukul itu membuat komposisi adonan yang jatuh ke dalam penggorengan menyerupai pola sarang semut. Hanya butuh dua menit, adonan yang kini menjadi kue itu sudah jadi.

Kue itu disebut Aisah dengan julukan “Kue Ure”. Bagi masyarakat kampung Kabulika, Dusun Pengengat, Desa Pringga Jurang Utara, nama kue itu memang aneh. Kue Ure itu dikenalkan Aisah ke kampung itu setelah dia resmi menjadi warga kampung itu. Warga di kampung itu pun sering menjadikan bahan lelucon jika “Kue Ure” itu sebenarnya “kue rambut Aisah”. Ya kue yang ketika matang dan digulung itu mirip seperti rambut keriting yang digumpal. Seperti rambut Aisah.

Rambut Aisah memang berbeda dengan warga di kampung itu. Rambutnya keriting. Selalu diikat rapi. Ketika berbicara dengan Bahasa Sasak, terdengar aneh. Ketika berbicara Bahasa Indonesia, orang akan mudah menebak jika Aisah berasal dari Nusa Tenggara Timur (NTT). Ya, Aisah memang warga Larantuka, Nusa Tenggara Timur. Cinta yang membawanya ke Kabulika, sebuah kampung terpencil yang didominasi persawahan.

Aisah adalah mantan buruh migran di Malaysia. NTT adalah salah satu lumbung buruh migran, dan kerap kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia menimpa buruh migran dari NTT. Saat menjadi TKW, Aisah berkenalan dengan pemuda dari Kabulika. Cinta bersemi di antara mereka. Mereka menikah dan Aisah diboyong ke Lombok.

Karena sama-sama menjadi buruh migran di Malaysia, pasangan muda ini belum memiliki pekerjaan di Lombok. Suami Aisah kembali menjadi buruh migran ke Malaysia. Sementara Aisah tetap di Lombok. Bersama para ibu-ibu rumah tangga di kampung itu, yang sebagian suami mereka menjadi buruh migran, terbesitlah untuk membuat usaha kue. Kue ure adalah salah satunya. Selain itu, kelompok yang diberikan nama “Bumi Pengengat Sejahtera” ini membuat kue “Kacang Sembunyi”. Dua jenis kue inilah yang dibuat oleh kelompok yang beranggotakan 11 orang ini.

“Kami jual di sekolah-sekolah,’’ kata Aisah saat ditemui Lombok Post, akhir April lalu. Pekerjaan membuat kue ini dilakoni para ibu rumah tangga ini setelah selesai mengurus rumah. Mereka kumpul di salah satu rumah warga. Seluruh proses produksi dilakukan di rumah itu. Menyiapkan bahan, pencampur adonan, menggoreng, hingga mengemas. Ketua RT Kabulika, Jaka Kelana yang dianggap memiliki jaringan luas dan mobilisasi lebih bebas, didaulat sebagai ketua kelompok. Dia biasanya bertugas pada distribusi. Tapi saat proses pengemasan, Jaka juga ada bersama para ibu-ibu itu. “Sekarang ada permintaan dari luar desa,’’ kata Jaka. 3 kilometer dari markas kelompok “Bumi Pengengat Sejahtera”, tepatnya di Dusun Penyangkar, Hultiah, 39 tahun, sibuk menerima telepon. Beberapa kali dia menjawab cukup keras karena ruangan tempatnya duduk cukup bising. Anak-anak bermain, bunyi kue yang digoreng di atas minyak mendidih membuat suaranya tenggelam. Rekannya di ruangan itu, Rauhun, 45 tahun, melanjutkan aktivitas menggoreng. Hultiah tidak terganggu, dan selang beberapa menit kemudian, wajah Rauhun terlihat ceria, ada kabar gembira saat dia menerima telepon. “Ada yang memesan,’’ katanya. Rauhun dan Hultiah, sore itu sedang menggoreng “Kue Pangsit”. Kue itu harus diselesaikan sore itu, atau paling telat malam hari. Keesokan paginya, seluruh kue yang digoreng itu harus diambil. Sudah habis dipesan. Kue yang setiap bungkusnya dijual Rp 1.000 itu sudah dibeli oleh pemilik warung. Pemilik warung yang akan datang ke rumahnya. Rauhun dan Hultiah tinggal menunggu di rumah. “Sehari selalu habis,’’ katanya. Selain memproduksi “Kue Pangsit”, mereka juga memproduksi “Pisang Sale”. Dua kue ini sementara waktu jadi andalan. Mereka berencana akan membuat kue lain, tapi melihat peluang dan permintaan. Pada bulan puasa, Rauhun dan Hultiah memperkirakan permintaan meningkat. Apalagi menjelang lebaran. Bagi rumah tangga yang tidak membuat kue sendiri, tentu saja kelompok usaha yang membuat kue jadi pilihan. Rauhun dan Hultiah menangkap peluang itu.

Sebelum memulai usaha kue ini, Rauhun mengandalkan biaya hidup sehari-hari dari kiriman suami dan anaknya di Malaysia. Suaminya Jumahir yang sudah dua kali ke Malaysia mengajak putra tertua mereka, Burhan untuk ikut menjadi kuli di negeri jiran itu. Kiriman merekalah yang dimanfaatkan Rauhun untuk membiayai hidup sehari-hari bersama tiga anaknya, disisihkan untuk biaya pendidikan, dan tabungan. Rauhun sangat bergantung pada kiriman dari Malaysia.

Para ibu rumah tangga di Dusun Penyangkar dan Dusun Pengengat selama ini mengandalkan uang dari suami mereka. Sebagian bekerja sebagai buruh tani, petani, sebagian kecil pedagang, dan sebagian ke Malaysia. Para anggota kelompok usaha kue di dua dusun ini sebagian istri para TKI, sebagian juga pernah menjadi TKW di Malaysia. Tak ada pilihan. Lapangan pekerjaan yang terbatas, tingkat pendidikan rendah, membuat para pemuda di Desa Pringga Jurang Utara mengadu nasib ke Malaysia. Sebagian besar bekerja di kebun sawit, sebagian bekerja di proyek bangunan. Setiap bulan mereka mengirim yang ke keluarga di rumah. Uang itu digunakan untuk biaya hidup sehari-hari anak dan istri, biaya sekolah, dan tabungan untuk membangun rumah. Jika beruntung bekerja di tempat yang gajinya lebih tinggi, keluarga buruh migran ini akan mengisi rumah mereka dengan berbagai barang elektronik.

Tapi tak selamanya rezeki di Malaysia lancar. Uang kiriman harus diatur agar cukup untuk makan sehari-hari dan biaya pendidikan. Beruntung jika masih ada tersisa untuk membangun rumah yang lebih baik. Sebagian besar para buruh migran yang berhasil, memakai uang mereka untuk membangun rumah baru atau memperbaiki rumah mereka.

Belakangan setelah didampingi Advokasi Buruh Migran Indonesia (ADBMI) Lombok Timur, para keluarga buruh migran ini sadar pentingnya mengelola keuangan dengan baik. Uang kiriman tidak boleh dihabiskan untuk konsumsi semata, atau tidak cukup sekadar ditabung untuk membangun rumah. Uang kiriman itu bisa dimanfaatkan untuk usaha. Keuntungan usaha itulah yang bisa dipakai belanja sehari-hari. Uang kiriman akan tetap utuh.

Mahnan, ketua kelompok anyaman Keranjang “Patuh Angen” di Dusun Galih, Desa Pringga Jurang Utara juga mencoba usaha baru. Sebagian besar anggota kelompok ini adalah para istri TKI. Selama ini mereka mengandalkan kiriman suami untuk biaya hidup. Mahnan yang berulang kali ke Malaysia sadar jika kerja keras di Malaysia, kadang habis untuk biaya hidup keluarga yang ditinggalkan.

Tiga kali menjadi TKI ke Malaysia, Mahnan akhirnya “menyerah”. Kini dengan usia 52 tahun, dia tidak sekuat dulu lagi. Dia bekerja di kebun sawit yang membutuhkan tenaga ekstra. Mahnan tidak sekuat dulu lagi, dan dia bingun mencari pekerjaan di kampungnya.

Setelah mencoba melihat peluang, akhirnya Mahnan berkesimpulan peluang yang masuk akal dikembangkan adalah keranjang anyaman bambu. Pertimbangannya modal sedikit dan bahan baku berlimpah di desanya. Hampir semua sudut di kampungnya ditumbuhi bambu. Selama ini bambu itu hanya dijual batangan ke pengepul dari luar desa.

Satu batang bambu dijual Rp 10.000. Jika diolah menjadi keranjang, keuntungan bisa berlipat-lipat. Satu batang bambu dapat diolah menjadi 20 keranjang. Harga 1 keranjang Rp 4.000. Dengan modal 1 batang bambu Rp 10.000, setelah diolah menjadi keranjang, satu bambu itu menghasilkan Rp 80.000. Pada musim panen sayur-sayuran, permintaan keranjang meningkat, harganya kadang lebih mahal. Sariati adalah salah seorang anggota kelompok di usaha anyaman keranjang bambu ini.

Sariati adalah istri seorang buruh migran. Suaminya sudah tiga kali ke Malaysia. Ibu beranak satu ini mengaku, selama suaminya bekerja di Malaysia dia hanya mengurus rumah tangga, tidak bekerja. Dia bisa hidup dari hasil kiriman suaminya. Sebagian disisihkan juga untuk membeli rumah.

Kini, setelah ikut dalam kelompok anyaman keranjang bambu, Sariati mengaku bisa mendapatkan tambahan belanja. Sementara uang kiriman dari suaminya bisa sepenuhnya ditabung dan dipakai untuk membangun rumah. “Untuk uang belanja pakai hasil keranjang,’’ katanya.

Begitu juga dengan Raehanun, 25 tahun. Suaminya sudah bekerja di Malaysia selama tiga tahun. Selama ini dia mengandalkan hidup dari kiriman suami. Setelah ikut kelompok keranjang bambu, Raehanun mendapatkan tambahan. Uang kiriman suami dimanfaatkan untuk membangun rumah dan tabungan keluarga. “Sekalian kumpul-kumpul sama teman,’’ katanya.

Direktur Advokasi Buruh Migran Indonesia (ADBMI) Lombok Timur Roma Hidayat menyebutkan, setiap tahun miliaran rupiah uang dikirim para buruh migran ke keluarga mereka di NTB. Lombok Timur adalah salah satu kantong terbesar buruh migran, khususnya ke Malaysia. Uang kiriman itu biasanya digunakan untuk biaya hidup sehari-hari, membangun rumah, membeli perlengkapan rumah tangga, biaya pendidikan. Tidak sedikit juga uang kiriman habis untuk konsumsi.

Saat ini ADBMI Lombok Timur mendampingi keluarga buruh migran di 12 desa yang berbatasan dengan kawasan hutan. Para keluarga buruh migran itu didampingi untuk membangun usaha kecil. Di masing-masing desa, para keluarga buruh migran melalui Program Kemakmuran Hijau dari Millennieum Challenge America Account Indonesia (MCA-I), mengupayakan suatu pendampingan bagi keluarga miskin dan buruh migran untuk merangsang usaha warga mengembangkan potensi-potensi yang ada dan ramah lingkungan.

2 tampilan0 komentar

Comentários

Avaliado com 0 de 5 estrelas.
Ainda sem avaliações

Adicione uma avaliação
bottom of page