Ngaji Tajwid Kebencanaan dan Belajar dari Monyet, Pengalaman
- ADBMI Foundation
- 12 Des 2020
- 4 menit membaca
adbmi.org – Meneruskan ngaji tajwid, keterlibatan ADBMI dalam penanganan bencana untuk pertama kali dalam bentuk proyek kerjasama, adalah dalam Project dengan title “Gender Responsive of Direct Aid for Lombok Earthquake Victims During Transition Phase “ yang disupport oleh AWO International.
Pertimbangan utamanya adalah selama berada dipengungsian, terutama ibu menyusui, ibu hamil dan anak perempuan yang memiliki privasi, mereka kurang nyaman untuk tidur atau pergi ke toilet.
Dengan adanya bantuan penyediaan tempat tinggal dan jamban, diharapkan para korban dapat tidur, istirahat dengan nyaman sehingga mampu berpikir dan bertindak lebih produktif. Anak yang tidak mendapatkan layanan konseling, tidak bisa bersekolah akan menjadi beban tambahan bagi orang tuanya.
Orang tua tidak dapat pergi bekerja dengan tenang karena anak-anak ketakutan dan membutuhkan perhatian. Untuk itu, melalui pembangunan sekolah lapangan, pemberian makanan tambahan akan menunjang kesehatan anak, baik fisik maupun fisik. Dengan demikian, orang tua dapat melakukan aktivitas lain untuk mempercepat normalisasi kehidupan.
Proyek diatas berfokus pada dua desa terdampak gempa yang telah dilayani oleh ADMI melalui proyek migrasi aman yang dilaksanakan dengan AWO International yang dimulai pada Januari 2018, Desa Wanasaba dan Pringgasela Timur.
Dasar pemilihan wilayah ini dan menargetkan keluarga pekerja migran adalah bahwa mereka sudah terpinggirkan, rentan dan miskin bahkan sebelum gempa bumi. Dampak gempa telah memperburuk situasi kelompok ini. Proyek ini memiliki dua hasil utama:
Agar komunitas dapat secara efisien mengelola bantuan yang masuk ke komunitas, dengan kegiatan utama: • Pengembangan rencana pemulihan pasca gempa, • Penyediaan peralatan untuk manajemen data.
Kebutuhan kelompok rentan (terutama perempuan dan anak perempuan) yang terkena dampak gempa bumi dapat dipenuhi sehingga hak mereka untuk bertahan hidup, berkembang, terlindungi dan privat dapat terpenuhi, terutama saat menghadapi musim hujan yang akan datang. Melalui kegiatan utama: • Penyediaan perumahan sementara, fasilitas sanitasi, peralatan memasak dan kebutuhan mendesak lainnya; • Penyediaan fasilitas pendidikan untuk anak di bawah usia 5 tahun, • Pemeriksaan kesehatan umum dan konseling.
Belajar dari Monyet, dari pengalaman yang pendek itu, ADBMI melakukan refleksi. Bahwa empati dan solidaritas serta penanganan bencana jika tidak disertai dengan pengetahuan dan manajemen yang baik, akan menjadi potensi bencana baru di tengah bencana itu sendiri.
Kenapa ahli Monyet melarang kita memberikan makanan pada monyet, apalagi secara rutin seperti minum obat 3x sehari. Karena, “Perilaku Baik” memberi makan itu, ternyata tidak mendidik monyet. Monyet akan kehilangan daya dan keterampilan bertahan hidup, malas mengeksplorasi daya kreasi dan potensinya untuk mencari makan, dan sebaliknya ingin terus bergantung pada manusia yang memberinya makan. Demikian refleksi dalam rapat ADBMI.
Memberi makan adalah prilaku baik dan menolong. Namun baik saja tidak cukup, diperlukan pendekatan dan metode yang benar. Sehingga dampaknya dalam jangka panjang, baik dan benar.
Balik ke kasus monyet, Meski hutan tidak rusak vegetasi potensi habitat, tidak ditemukan gangguan. Pada beberapa kasus, bahkan di Lombok sudah kita bisa temukan di daerah Pusuk, baik Pusuk Lombok barat maupun Lombok Timur. Monyet itu keluar dari habitatnya, lebih senang berdiri telanjang di pinggir jalan besar, mengawasi dengan tajam lalu lalang kendaraan, mereka tak takut di lindas, bahkan para monyet itu mulai menganggu pengunjung.
Pada ketergantungan yang akut, akan berujung pada konflik masyarakat monyet dan warga manusia. Monyet menyerang si tuan baik hati tadi. Dan ketika Tuan pergi atau mati, monyet akan ikut mati di hutan yang di penuhi pohon-pohon yang tengah berbuah. Tikus mati di lumbung padi, Monyet-monyet itu akan mati Karena kemalasan dan hilangnya daya kreasi mencari makan.
Dulu kita tahu, banyak program penanganan kemiskinan, dan hasilnya, jumlah orang miskin makin meningkat. Yang tidak miskin, bersikeras mau jadi miskin. Sekarang kita putar haluan ke Soal penanganan bencana gempa di Lombok. Banyak relawan dan atau para stakeholders memviralkan info baik dalam video, tulisan, photo.
Bahwa rombongan mobil bantuan di kerubungi, “diserang” oleh para korban pengungsi. Itu hanya sekelebat adegan, yang kok rada mirip dengan adegan monyet versus manusia di atas. Pola ini seperti menanam ranjau bencana di ladang kita sendiri, yang entah suatu saat nanti akan terpijak dan meledak menjadi bencana baru, bencana kultur social. Seperti Sebutir Telur.
ADBMI juga menyadari bahwa migrasi dan bencana memiliki hubungan sebab akibat, bencana mengahncurkan dan menghambat pembangunan, menyebabkan kemiskinan dan akhirnya migrasi. Untuk itu ADBMI harus belajar dan memasukkan manejmen kebencanaan ini dalam prioritas kebijakan lembaga.
Untuk itu ADBMI membuka diri untuk belajar tentang Proyek penanganan Bencana. Latar belakang ini mempertemukan ADBMI dengan YSI. Dimana ADBMI belajar Proyek pengurangan resiko Bencana dengan piloting di satu Desa, Desa Pringgasela Timur.
Sebutir telur merupakan salah satu judul status fanpage ADBMI ketika memposting salah satu kegiatan proyek PRB yang di selenggarakan oleh ADBMI-YSI dan AWO. Analogi sebutir telur ini muncul dalam sebuah workshop pengintegrasian issue kebencanaan dalam Rencaan Pembangunan Desa.
Walaupun memiliki bagian luar yang keras kita tidak bisa memastikan telur tersebut aman dari ancaman pecah telur. Ancaman dari luar bisa saja menyebabkan pecah sehingga gagal mencapai penetasan, analogi yang digunakan dalam menanggapi bencana.
Untuk membuat telur tersebut tidak pecah walaupun mendapat ancaman dari luar, kita tingkatkan kapasitasnya dengan cara memberikan perlindungan dengan sumber daya yang ada sehingga level pertahanan dari telur tersebut meningkat.
Untuk mempertegas komitmen dan kesiapan ADBMI dalam mengintegrasikan issue kebencanaan ke dalam kebijakan lembaga, maka ADBMI telah dan akan terus mereformasi diri . Mengingat ADBMI belum memiliki perangkat yang cukup ; SDM, perangkat lembaga (fisik dan Non Fisik) yang dapat mendukung pengintegrasian Issue Kebencanaan .
Untuk saat ini, sebuah tim kecil telah dibentuk untuk melakukan review di Level SOP serta mempertimbangkan untuk membuat struktur Organisasi yang menangani issue kebencanaan ini . Dan dengan mempertimbangkan startegi serta keberlanjutan , ADBMI merasa perlu untuk melakukan perubahan di level rencana strategis organisasi.
コメント