top of page

Menghapus Patriakhi dari Budaya Sasak untuk Gumi Lombok Darussalam

Oleh : Roma Hidayat |

Praktek sosial budaya dan keagamaan di Lombok telah menempatkan perempuan Sasak terdiskriminasi semenjak dalam kandungan hingga ke liang lahat. Bahkan ketika telah terkubur, arwah si perempuan tidak mendapatkan penghormatan sebagaimana jika si almarhum adalah pria.

Darrussalam dipakai oleh Allah untuk menama lainkan syurga (Al Qur’an Surah Yunus Ayat 25). Dan karakteristik syurga yang biasanya digambarkan oleh Tuhan adalah sejahtera (tidak kekurangan sandang pangan papan) dan damai (bebas dari ketakutan, bebas tindak kekerasan maupun tindak diskriminatif lainnya).

Visioning Lombok sebagai Darrussalam (serambi surga) harus dimulai dari rekosntruksi budaya yang selama ini dipraktikkan dan wujud dalam keseharian orang Lombok. Acuan rekonstruksi budaya ini haruslah sewarna dengan budaya, prilaku surgawi seperti yang digambarkan oleh Allah tadi. Dalam hal ini adalah damai sejahtera.

Dan di manakah tempat dan waktu paling tidak damai itu dalam kehidupan Sasak? Recording kasus keluarga sebagai locus paling rawan dan potensial, lokasi yang dalam hayalan (terutama yang lagi kasmaran) sebagai tempat paling nyaman. (prosentase perceraian, penelantaran anak, NTB tertinggi di Indonesia, ini baru proses yang tercatat di pengadilan).

Budaya patriarkhi yang begitu kental, memicu prilaku kesewangan pria pada pasangan hidupnya, perempuan. Yang menemani tidurnya, meyiapkan makan, menjaga dan mendidikan anaknya.

Saya tidak akan mengulas lebih dalam lagi. Sebagai sesama Sasak, kita  secara berjamaah telah mafhum, bagaimana fakta pagi babak belur dipukul dan malamnya harus melayani hasrat sang suami itu bekerja dalam keseharian keluarga Sasak.

Akibatnya adalah keterbelakangan Sasak hari ini. Betapa tidak?, budaya patriarkhi ini telah :


Memiskan Perempuan

Kemiskinan pada para perempuan (prosentase kemiskinan saat ini didominasi perempuan). Ketika bagi waris tiba, maka saudara laki-laki atas nama kuasa adat memakan seluruh warisan orang tua, sehingga perempuan tidak memilki aset untuk memperbaiki hidupnya. Katanya, karena ia hidup dihidupi suami. Padahal dalam kehidupan ia dengan suami, sang perempuan tidak memiliki kontrol dan akses yang cukup terhadap uang/aset yang dihasilkan suami. Dus, kalaulah terjadi perceraian yang biasanya dijadikan alat untuk meneguhkan hegemoni dan penindasan pria Sasak terhadap pasangannya (maka keluarlah mantra, ape melekme ah?), maka perceraian itu juga semakin memiskinkan perempuan. Tidak ada gono gini/mut’ah. Si perempuan hanya boleh dan hanya akan membawa piring pecah dan kain bertambal yang dulu dia bawa dari rumah orang tuanya sebelum menikah.

Dan tiba-tiba kita semua heran dan mengecam, kenapa banyak sekali perempuan yang jadi pelacur? Kenapa tidak pernah ada yang mengecam pria yang telah memaksa dan menjerumuskan mereka ke himpitan ekonomi, 98% mereka yang saya temui, menyebutkan bahwa kerja itu mereka ambil untuk tujuan mulia; membiaya anaknya sekolah/masuk santren.

Subhanallah, para pelacur itu konsisten berdiri dalam kesadarannya, bahwa anak adalah manusia titipan Allah yang ditransfer lewat rahim merek yang keberdaannya tersebab bukan salah Ibu mengandung tapi kesalahan Bapak yang membuka sarung. Kenapa tidak cari kerja lain? “Bagaimana mau kerja, orang saya dulu enggak boleh sekolah tinggi sama Bapak saya, masih ada saudara laki-laki yang juga sekolah”.


Generasi Tidak Produktif

Melahirkan generasi yang tidak berdaya saing. Bagaiamana tidak, si ayah lebih ridho membakar uangnya lewat benda makruh bernama rokok dibanding membiayai anak sekolah. Dus, mengharap ibu-ibu yang tidak sempat mengenyam pendidikan tinggi dapat menjadi pendidik yang baik-bagi anak di dalam keluarga, adalah beban berlipat yang kita tumpukkan setelah beban ganda (double bourden) yang dipikul si isteri, yang kadang juga harus menjadi penopang utama ekonomi keluarga karena suami lebih doyan mabuk, judi dan pacaran lagi. Kalau jadi TKI, si suami seenak-udelnya bertahun tidak memberi kabar berita, “kaling kepeng eak lalo dateng?”

Demikianlah seterusnya. Anak-anak kita melihat, belajar prilaku kekerasan, anti damai dan tidak menghargai perempuan itu dari bapaknya di dalam rumahnya (kecenderungan anak-anak muda Sasak memandang perempuan dengan perspektif dan orientasi kelamin. Tidak percaya? silakan luangkan waktu untuk ngobrol bersama mereka. Perilaku yang kemudian tak tersadar dipraktikkan dalam pergaulan sehari-hari dan ketika bekerja, kelak gilirannya menjadi bapak.

Lalu kapan konsepsi Darrussalam akan mewujud? Tidak akan pernah. Jika tidak ada upaya rekonstruksi budaya, menghapus roman patriarkhi. Memulai dengan itu!
0 tampilan0 komentar

Postingan Terkait

Lihat Semua

Comentarios

Obtuvo 0 de 5 estrellas.
Aún no hay calificaciones

Agrega una calificación
bottom of page