top of page

Menembus Batasan Malaysia, Mariani Nekad Lewat Jalur Tikus

Mariani masih ingat betul betapa beringasnya anggota Polisi Kerajaan Malaysia yang datang ke kediamannya saat petang tiba. Mereka bagaikan malaikat pencabut nyawa yang siap mengeksekusinya kapan saja tanpa perlu diperintahkan.

Malam itu, bulan sudah sejajar dengan kepalanya. Terang rembulan di tengah hutan Malaysia Timur kala itu begitu jelas. Dedaunan menjadi saksi betapa beringasnya para aparat keamanan yang memukuli dan mengejar tanpa ampun para pekerja migrant illegal yang bekerja diperkebunan kelapa sawit.

Sementara, Mariani pada saat itu sedang mengandung 6 bulan anak pertamanya. Tanpa diketahui oleh sang suami, Mariani langsung menerjang seramnya hutan Malaysia tengah malam itu. Ia berlarian ke tengah hutan bersama gerombolan pekerja yang dianggap pendatang haram oleh pihak Malaysia. Sementara sang suami masih berada di ladang sawit karena memiliki dokumen yang resmi.

Kisah hidup Mariani adalah satu dari banyaknya perempuan Lombok yang menembus jalur perbatasan Malaysia melalui jalur tikus karena factor ekonomi yang sulit di daerah asal. Cita – citanya ingin memiliki rumah bersama sang suami membuatnya harus ikut menjadi pekerja migrant dan meninggalkan kampung halaman.

*****

Menjadi Pekerja Migran Gelap Di Ladang Kelapa Sawit Milik Cina Di Malaysia

Photo Istimewa : Mariani pada saat membersihkan beras yang akan dimasak pagi hari.

Photo Istimewa : Kegiatan Mariani sebagai Ibu Rumah Tangga di kampung halamannya selepas pulang dari rantauan.


adbmi.orgDi rumah yang megah itu Mariani hidup bertiga dengan kedua orang anaknya, ada yang masih sekolah di bangku Sekolah Menengah Pertama dan anak yang paling kecilnya yang masih berusia empat tahun. Sementara sang suami memilih untuk kembali menjadi pekerja migrant setelah tertahan di rumah akibat pandemic covid 19 yang melumpuhkan dunia beberapa tahun silam.

Rumah yang ditempati ini merupakan jerih payah Mariani dengan sang suami. Rumahnya sangat besar, luas dan terdapat beberapa kamar serta perabotan rumah tangga yang belum tentu dimiliki masyarakat lainnya. Dan semuanya adalah hasil merantau menjadi pekerja migrant ke Malaysia selama beberapa tahun.

Mariani akrabnya merupakan perempuan mantan pekerja migrant asal Desa Suradadi kecamatan Terara kabupaten Lombok Timur. Ia menjadi pekerja migrant dimulai ketika ia baru selesai menikah. Dengan niat dan harapan agar hidup yang lebih baik, Mariani beserta sang suami memilih meninggalkan kampung halaman dan menjadi pekerja migrant.

Pagi itu, sebelum beraktifitas di luar rumah, ia membiasakan diri untuk menyelesaikan tugas rumah tangga dengan membuatkan sarapan pagi untuk keluarga. Kali ini, ia akan membuat tempe goring yang dilengkapi dengan tahu dan sambal mata. itu semua untuk sarapan pagi bersama keluarganya. “kalau untuk makan siang, biasanya beli di warung dekat rumah,”terang Mariani saat dikunjungi penulis di rumahnya di dusun Otak Desa Utara desa Suradadi (19/1/2023).

Kebetulan, pagi ini ia juga akan datang ke kantor desa untuk mengikuti pelatihan manejemen keuangan rumah tangga yang diselenggarakan oleh Lembaga Sosial Desa Suradadi. Kegiatan ini menyasar para purna PMI ataupun keluarga untuk dilatih tentang manejemen keuangan dan usaha mikro.

Semasa di Malaysia, Mariani menjadi pekerja di ladang kelapa sawit bersama suaminya. Ladang tersebut milik keturunan Cina yang dikelola oleh beberapa pekerja. Maklum, ladangnya tidak terlalu luas, namun berpencar dan ada dibeberapa tempat yang membuat para pekerja kadang kesulitan dalam bekerja karena jarak setiap ladang sangat berjauhan.

Sementara Mariani bertugas membersihkan ladang dari rumput – rumput liar yang tumbuh. Selebihnya, ia akan membantu suami yang bertugas memotong buah kelapa sawit jika tugas dan tanggung jawabnya sudah selesai.

Hampir separuh dari umurnya ia habiskan menjadi pekerja migrant gelap di Malaysia. Berangkat dari rumah dengan membawa visa pelancong untuk menembus perbatasan Malaysia. Itu tidak terjadi sekali dua kali, namun setiap ia pergi merantau ke Malaysia selalu menjadi pekerja migrant illegal dan bertaruh nyawa melewati jalur tikus yang penuh resiko.

*****

Menitipkan Sang Anak Sejak Usia 15 Bulan Lalu Kembali Merantau

Photo Istimewa : Mariani bersama anak keduanya yang masih berusia 4 tahun.

Photo Istimewa : Mariani bersama anak keduanya yang masih berusia 4 tahun.


Bukan hanya Mariani, banyak warga masyarakat kita memilih meninggalkan sang anak merantau lalu menitipkan sang anak kepada keluarga yang ada di kampung halaman. Akibatnya, kerap kali sang anak hanya mendapatkan uang namun belum tentu merasakan kasih sayang dari orang tua.

Mariani sendiri menitipkan anak pertamanya ke orang tuanya sendiri. ia hanya pulang untuk melahirkan sang anak karena takut banyaknya resiko di negeri rantauan. Akhirnya ia memilih untuk melahirkan di kampung halaman. Anaknya hanya bisa merasakan asi sampai usia 15 bulan. Waktu yang cukup singkat dan bahkan kurang bagi sang anak untuk merasakan dekapan hangat dari orang tua. Namun, keadaan yang memaksa Mariani untuk meninggalkan sang anak dan kembali menjadi pekerja migrant yang gelap.

Terlihat jelas, air mata serta rasa gemetar dari tubuh Mariani saat menceritakan itu semua kepada penulis. Ia ingat betul kala itu, ketika melepas gendongannya dan meninggalkan sang anak. Hatinya terasa hampa. Terlebih ini adalah anak pertama buah hatinya dengan sang suami. Namun yang kembali menguatkannya adalah cita – cita dan harapan akan hidup yang lebih layak.

Kini, anak pertamanya sudah duduk dibangku sekolah menengah pertama dan menjadi harapannya kelak untuk bisa menjadi kebanggan keluarga dan masyarakat. Anak itu Tumbuh dewasa. Namun tidak sepenuhnya hasil didikannya karena ia merasa terlalu lama dirantauan dan membiarkan sang anak di didik oleh sang nenek di kampung halamannya.

*****

Menjadi Pekerja Migran Sepanjang Hayat Tidak Menjamin Kemandirian Ekonomi, Purna PMI Harus Punya Usaha Secara Mandiri

Meskipun bertahun – tahun dirantauan tidak menjamin Mariani memiliki penghasilan yang tetap. Terbukti, pada saat Covid 19 melanda seluruh dunia ia juga terdampak dan bahkan dirasakan secara signifikan. Ia tidak bisa merantau dan begitu juga sang suami. Pada saat itu, ia hanya memanfaatkan sisa tabungan selama merantau untuk bertahan hidup selama pandemic Covid 19.

Mariani bahkan mengakui tidak ada pengasilan tetap. Bahkan ia berjuang mati – matian mengelola keuangan terutama pengeluaran agar bisa dikelola seminimal mungkin pengeluarannya.

Pada saat itu, ia berusaha membuat sebuah usaha tanpa harus berfikir merantau. Perlahan ia mencoba peruntungan dengan menjual pakaian yang diambil dari rekannya lalu dijual. Tidak banyak yang bisa diambil keuntungannya namun bisa membantu menutupi kebutuhan keluarganya.

Sampai saat ini bahkan ia mencoba peruntungan menjual pakaian. Promosinya sederhana, tanpa menggunakan media social, hanya dari mulut ke mulut.

Selama dirantauan ia hanya bertugas untuk memotong rumput yang ada di kebun kelapa Sawit di Malaysia. Keahlian yang memang sudah lama ia miliki sedari dulu yang kemudian ia gunakan untuk bertahan hidup selama dirantauan.

Dengan tanpa pengalaman dan keahlian yang baru, cenderung para pekerja migrant tidak bisa berkembang di kampung halaman setelah merantau. Bagaimana tidak, keahlian yang didapatkan diperkebunan kelapa sawit belum bisa diterapkan dirumah untuk bisa dijadikan usaha. Sehingga para purna PMI tidak bisa berkembang. Kecuali mereka memiliki pengalaman bekerja di pabrik ataupun tempat kerja lainnya.

Konsekuensi menjadi pekerja migrant di perkebunan kelapa sawit, tidak ada keahlian yang bisa diterapkan didaerah asal setelah pulang. Akhirnya, jika tidak merantau kembali ke Malaysia, minimal mereka merantau ke Kalimantan atau ke Sumatera dan kembali memilih perkebunan kelapa sawit.

****

Purna PMI Harus Mendapatkan Perhatian Yang Lebih Intensif

Photo Istimewa : ADBMI mengadakan pelatihan manajemen keuangan rumah tangga dan usaha mikro di desa Suradadi, 19/1/2023.

Photo Istimewa : Tim ADBMI Fauzan (Kiri, baju kerah putih) mengadakan pelatihan manajemen keuangan rumah tangga dan usaha mikro di desa Suradadi oleh  (19/1/2023).


Menyadari mental para pekerja migrant yang sedikit sekali memiliki keahlian usaha membuat yayasan Advoksi Migran Indonesia (ADBMI Foundation) membuat program pemberdayaan ekonomi keluarga pekerja migrant maupun PMI purna. Mereka para komunitas PMI dilatih bagaimana merencanakan usaha, mengembangkan usaha dan juga mengelola keuangan rumah tangganya.

Para purna PMI maupun keluarga sampai saat ini masih kurang mendapatkan perhatian oleh pemerintah maupun swasta. Sehingga, PMI daur ulang tetap terjadi. Mereka tetap merantau berulang kali karena belum berani memulai usaha baru dan belum mampu mengelola kauangan dengan baik.

Menjadi pekerja migrant memang penuh resiko, namun setiap tahunnya banyak masyarakat yang berbondong – bonding untuk menjadi pekerja migrant. Bahkan tanpa memperhatikan jalur yang resmi maupun illegal.

Sudah sejak awal, komunitas PMI menjadi lapisan yang peling rentan dan cenderung menjadi korban. Mereka belum bisa berdaya secara ekonomi maupun secara social. Maka dari itu, para komunitas PMI harus mendapatkan sentuhan dan perhatian yang lebih intensif.

0 tampilan0 komentar

Comments

Rated 0 out of 5 stars.
No ratings yet

Add a rating
bottom of page