top of page

Melawan Kemiskinan dengan Keripik

Dilansir dari LOMBOKPOST[.]NET oleh Fathul Rakhman.

Dari balik dapur pengap asap kayu, para perempuan desa ini memberontak. Mereka ingin keluar dari jerat kemiskinan. Pendidikan rendah dan tanpa akses modal, apalagi bantuan pemerintah, mereka terus berkarya. Tidak ada gunanya menyalahkan keadaan.

Azan zuhur baru saja terdengar di masjid di Dusun Lingkung Lauq, Desa Tetebatu, Kecamatan Sikur. Suara azan itu menjadi penanda pekerjaan harus diselesaikan 6 orang perempuan di kampung itu. Di teras salah satu warga, sambil berbincang tentang persiapan jelang Lebaran, mereka juga membicarakan soal pendidikan putra putri mereka. Mastah, ketua kelompok itu bercerita jika putranya meminta dibelikan kamera. Dia menanyakan harga kamera yang wartawan Lombok Post bawa, kamera DSLR, dan di mana bisa membeli kamera itu.

Mastah berniat ingin membelikan putranya kamera itu. Setidaknya permintaan itu lebih masuk akal, tidak meminta motor atau barang mewah lainnya. Bagi Mastah, memegang kamera bagi putranya yang remaja bisa menyalurkan hobi. Setidaknya putranya tidak ikut genk motor atau kelompok anak-anak muda yang keluyuran. Keluyuran sambil membawa kamera lebih bermanfaat. “Sekalian nanti bisa promosikan usaha kami,” kata Mastah.

Hidup Mastah, jika dilihat dari rumahnya, berkecukupan. Suaminya adalah buruh migran spesialis Malaysia. Sudah empat kali suaminya ke Malaysia. Pendapatan dari Malaysia itu digunakan untuk membangun rumah permanen. Rumah-rumah di kompleks perkampungan Mastah itu cukup bagus untuk ukuran desa. Rumah-rumah itu hasil dari Malaysia. “Semua laki-laki di kampung ini ke Malaysia. Suami saya saja sekarang, dia baru pulang dan nanti balik lagi,” kata Mastah.

Sesama istri buruh migran, para perempuan di kampung Mastah biasa kumpul di teras rumah. Pembicaraan seputar gosip terbaru di kampung, acara televisi, dan sekitar kehidupan sehari-hari di desa. Hingga suata saat, “kelompok gosip” itu membentuk diri menjadi kelompok usaha. Mastah dan para istri buruh migran di kampung itu memiliki keterampilan membuat kue. Paling banyak kue kering. Sehari mereka bisa menghabisan 9 kg bahan baku. Aktivitas itu dilakoni setiap hari. Selama bulan Ramadan mereka tetap berproduksi. Menyelesaikan pesanan yang semakin banyak jelang Lebaran.

Di Dusun Embung Jago, Desa Jenggik Utara, Kecamatan Montong Gading, Reni Mariati memberikan instruksi pada rekannya agar proses penggorengan tidak terlalu lama. Keripik pisang yang digoreng harus cepat ditiriskan. Tidak boleh terlalu kering. Tidak boleh juga terlalu lembek. Harus pas kematangannya. Begitu juga saat pengemasan, harus pas takarannya. Satu bungkus dijual Rp1.000. Bungkusan kecil itu kembali dibungkus dalam kantong lebih besar, satu bungkusan besar terdiri dari 12 bungkusan kecil. Dijual Rp 10.000. Jika memasan lebih banyak, Reni yang ketua kelompok Bumi Karya Rinjani itu berani melepas Rp 9.000. “Kalau kami dapat jual Rp 100 ribu, untung kami sekitar Rp 40 ribu,” kata Reni.

Usaha keripik juga dilakoni kelompk Bumi Terengwilis Desa Perian, Kecamatan Montong Gading. Kelompok ini memproduksi keripik pisang, keripik talas, keripik singkong. Sesekali membuat racikan jamu. Keripik dijual ke desa-desa di Kecamatan Montong Gading. Kini, kelompok ini juga sudah memiliki jaringan hingga ke Kabupaten Lombok Tengah.

“Sehari kami habiskan 400 sisir pisang,” kata Suhasmiwati, anggota kelompok Bumi Terengwilis.

Baiq Aluh Agustini, di Desa Kembang Kuning lain lagi. Jebolan SMA ini lebih kreatif dalam mengolah pisang. Dia membuat pisang sale. Tapi bukan sekadar pisang sale pipih. Dia melilit pisang sale dengan tepung. Lilitan tepung itu seperti guratan bor. Kelihatan lebih cantik. Sehari dia bisa memproduksi 40 pax.

“Tapi sekarang kurang karena sering hujan, susah kering pisangnya,” katanya.

Para perempuan dari berbagai desa ini adalah potret perempuan mandiri. Mereka adalah istri para buruh migran. Mereka juga pernah merasakan menjadi buruh migran. Hasil dari negeri rantau itu mereka gunakan untuk membangun rumah, menyekolahkan putra putri mereka, dan modal awal berusaha. Mereka patungan membeli bahan baku, patungan membeli alat. Bekerja bersama, menjual bersama, dan membagi keuntungan secara adil. Hasil usaha ini, mereka gunakan untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Kiriman suami di luar negeri utuh. Itulah sebabnya Mastah tidak ragu jika putrinya melanjutkan kuliah, dan memenuhi permintaan putranya agar dibelikan kamera. Pendapatan jualan kue dan keripik tidak banyak, tapi mereka lebih mandiri. Mereka tidak ingin selamanya dicap miskin.

0 tampilan0 komentar

Comments

Rated 0 out of 5 stars.
No ratings yet

Add a rating
bottom of page