top of page

Kisah Mursidi, Guru Honorer Rela Jadi Pemulung untuk Gerakkan Ekonomi Desa

Dilansir dari LombokPost[.]net oleh Fathul Rakhman |

Pagi hingga siang hari Mursidi, 26 tahun, seorang guru sekaligus staf tata usaha. Pulang sekolah berganti kostum, menjadi pemulung yang merangkap pedagang keliling. Inilah kiprah anak muda penggerak ekonomi kecil di desanya.

Karena puasa, jadwal sekolah di SMPN 1 Montong Gading berakhir lebih awal. Bagi Mursidi,  26 tahun, pulang lebih awal bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya. Sambil menunggu waktu berbuka, Mursidi memiliki waktu 6 jam untuk melakoni profesi lainnya : pemulung dan pedagang keliling.

Belum lama duduk di teras rumahnya di Dusun Pesanggrahan, Desa Pesanggrahan, Kecamatan Montong Gading, Lotim  HP bututnya berdering. Di seberang telpon, suara perempuan terdengar dari speaker HP. Ia mengabarkan barang-barangnya sudah siap dan meminta Mursidi segara datang.

Rabu siang (7/6), perempuan yang menelpon Mursidi itu adalah pedagang di tempat wisata Otak Kokok Joben, sekitar 5 km dari rumah Mursidi. Perempuan itu mengabarkan karung berisi barang rongsokan sudah penuh. Mursidi meminta perempuan itu menunggu dan menanyakan apakah ingin beras atau pulsa listrik. Tapi perempuan itu hanya meminta Mursidi datang, tanpa membawa keduanya.

Perempuan itu adalah salah satu mitra kerja Mursidi sebagai pedagang keliling dan pemulung. Sebagai pengepul sampah layak jual, Mursidi membangun jejaring di ratusan titik. Dia menyebut sudah ada 200 kios dan lapak pedagang kenalannya di seluruh Kecamatan Montong Gading. Jika ada barang bekas yang bisa dijual seperti kardus, kertas, bekas gelas dan botol mineral, agar segera menghubungi Mursidi.

“Ibu itu masih punya utang beberapa ribu, mungkin dia tidak enak minta isi pulsa listrik lagi,’’ kata Mursidi menyebutkan profil perempuan yang menelponnya itu.

Mursidi bukan pemulung biasa. Dia menyebut dirinya sebagai bank sampah. Para nasabahnya adalah pedagang kecil, pemilik lapak kaki lima. Mereka menabung di Mursidi dengan sampah.  Lalu, Mursidi membayar dengan beras, pulsa listrik, dan aneka barang jualan.

Di luar bulan Ramadan, para pemilik lapak di Otok Kokok Joben banyak memesan makanan ringan dan minuman ringan. Belasan pedagang kaki lima mengandalkan hidup dari kunjungan wisatawan. Barang jualan mereka dipasok oleh Mursidi.

“Mau bayar pakai uang bisa, bayar pakai sampah juga boleh,’’ kata Mursidi.

Bisnis yang dijalankan Mursidi ini untung dua kali. Pertama, dia dapat untung dari penjualan barang ke pemilik lapak. Keuntungan kedua, sampah yang dikumpulkan akan kembali dijual. Sementara bagi pemilik lapak, sangat terbantu dengan model bisnis yang dijalankan Mursidi. Mereka bisa berutang dan mencicil dengan sampah sisa barang jualan mereka. Untuk jenis jualan tertentu seperti air mineral, mereka tidak perlu penuh membayar dengan uang. Botol dan kardus bisa dipakai menambah sisa pembayaran. Secara tidak langsung, bisnis Mursidi ini mengurangi sampah di kawasan wisata itu.

“Kalau dulu sampah botol plastik bercecer, sekarang pedagang sendiri yang memungut,’’ kata Mursidi.

Mursidi juga memberikan pinjaman  modal usaha. Pengembaliannya, bisa dicicil dengan uang dan sampah. Sampah ditimbang dan disepakati harganya. Seperti perempuan yang menelepon Mursidi itu, dia berutang pulsa listrik dan barang, untuk pembayarannya memakai sampah.

“Mau seminggu, mau sebulan tidak ada masalah. Ini juga untuk melawan bank rontok yang memberatkan pedagang,’’ kata alumnus STKIP Hamzanwadi Pancor ini.

Barang jualan yang diedarkan Mursidi ke lapak-lapak kaki lima itu juga produksi warga di desanya. Mursidi adalah ketua kelompok usaha kecil di desanya. Anggota kelompoknya memproduksi tortila, keripik pisang, kerupuk, dan kini mulai memproduksi tempe. Barang-barang itu diedarkan Mursidi ke lapak kaki lima dan kios-kios kenalannya yang mencapai 200. Mursidi hanya mengambil keuntungan secukupnya, pengganti operasional dan upahnya.

“Jika dibandingkan gaji honorer, alhamdulillah hasil keliling dan sampah ini bisa menutupi kebutuhan rumah tangga,’’ kata Mursidi yang sudah dikarunia satu anak. Tanpa menyebut berapa keuntungan bersih, Mursidi mengatakan uang dari hasil bisnisnya lebih tinggi dibandingkan honor sebagai guru.

Tidak risih sebagai guru nyambi jadi pemulung ?

Mursidi menuturkan, awalnya banyak yang mencibir kegiatannya ini. Sarjana pendidikan kok jadi pemulung. Apalagi beberapa kali dia bertemu dengan siswa siswinya. Maklum saja siswa siswi sekolah tempatnya mengajar berasal dari desa-desa di Kecamatan Montong Gading. Sementara Mursidi setiap hari keliling desa di Montong Gading. Seorang siswa pernah menegurnya di jalan saat dia mengambil karung berisi sampah. Lain waktu siswanya menanyakan apakah Mursidi tidak malu. Begitu juga dengan rekannya sesama guru dan staf di SMPN 1 Montong Gading.

“Lama-lama biasa, malahan sekarang kalau ada rekan di sekolah yang punya sampah saya yang ambil,’’ kata Mursidi.

Mursidi punya pandangan tersendiri tentang mencari nafkah. Lahir di orang tua pas-pasan, buruh tani dan pengembala ternak, banyak rekan bermainnya yang memilih menjadi buruh migran. Desa Pesanggrahan adalah salah satu kantong TKI ke Malaysia. Mursidi beruntung bisa mengenyam pendidikan tinggi.

Menjadi guru adalah harapan orang tuanya, dan Mursidi melakoni itu. Tapi dalam hati kecilnya dia melihat banyak potensi di desa yang disia-siakan begitu saja. Banyak usaha yang sebenarnya bisa dilakoni untuk meningkatkan pendapatan keluarga. Jika diseriusi bisa menjadi pekerjaan pokok. Mursidi melihat tidak banyak anak muda di kampungnya melihat potensi itu.

Melakoni sebagai pemulung dan pedagang keliling, sekaligus guru, Mursidi ingin menunjukkan dirinya yang sarjana tidak mau melakukan pekerjaan itu. Menjadi sarjana bukan berarti gengsi melakukan pekerjaan yang dinilai hanya untuk orang tidak berpendidikan. Justru dengan pendidikan tinggi itu, pekerjaan itu bisa bernilai lebih. Mursidi tidak sekadar membeli dan menjual barang bekas, tapi dia juga membantu ratusan warga kurang mampu. Mengubah sampah jadi duit. Sehari perputaran uang dari barang yang dijual, sampah yang dikumpulkan, produksi olahan makanan titipan anggota kelompok usaha  bisa mencapai Rp 1.000.000.

“Saya sebagai perantara produk teman-teman di sini ke kios,’’ katanya.

Mursidi juga terus mencari informasi bisnis baru. Belakang ini dia dan istrinya mencoba memproduksi tempe sendiri. Mencari referensi tentang usaha tempe, dan Mursidi akan mencoba memasarkannya. Sebagian besar barang yang dijual Mursidi memang diambil dari distributor, tapi kelak dia berharap barang yang dijual adalah produksi warga di desanya. Untuk itu Mursidi selalu membaca peluang bisnis baru. Mencoba usaha itu, dan jika berhasil dia senang jika ada orang lain mengikuti. Seperti menabung dengan sampah yang awalnya diikuti satu atau dua orang tetangganya. Kini merembet ke desa lainnya di Kecamatan Montong Gading. Langkah kecil dari Dusun Pesanggrahan kini meluas menjadi kecamatan.

0 tampilan0 komentar

Comments

Rated 0 out of 5 stars.
No ratings yet

Add a rating
bottom of page