top of page

Jejak Petualangan Nendy, Garda Depan Pekerja Migran Anjani

Nendy merupakan seorang pemuda desa, mantan Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang berasal dari Desa Anjani di Kabupaten Lombok Timur. Kehidupan sempurnanya hilang semenjak sang Ayah tiada, dan mengharuskan ia mengganti peran sang Ayah. Cita-cita duduk di bangku kuliah ia pendam dahulu dan banting setir bekerja untuk membantu keluarga.

Sebagai keluarga besar, semuanya berjalan dengan tawa dan bahagia. Sampai semuanya berubah setelah Ayah meninggal pada tahun 2007, perjalanan hidup terasa begitu mencekam.


Perkenalkan, namanya Nendy Wahyu Imansyah, lahir pada 30 tahun silam di Desa Anjani tepatnya di tanggal 7 Maret 1994. Merupakan anak ke-empat dari tujuh bersaudara dari seorang ayah bernama Pak Sahrun dan seorang ibu bernama Bu Murniatun.


Jejak Petualangan Nendy, Garda Depan Pekerja Migran Anjani


adbmi.org - Ayah Nendy bekerja sebagai Aparatur Sipil Negara atau yang kita sebut ASN (Petugas keuangan di SMP) dan ibu hanya seorang ibu rumah tangga.


Tinggal di pulau kecil tapi eksotis,  bernama Lombok, tepatnya di Kelurahan Anjani Timur, Desa Anjani, Kecamatan Suralaga, Kecamatan Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, Indonesia.


Kehidupannya berjalan baik-baik saja sampai dimana semuanya berubah setelah ayahnya meninggal pada tahun 2007, perjalanan hidup Nendy terasa begitu mencekam.


Saat itu ia masih duduk di kelas IX (Sembbilan SMP), adik-adiknya masih sangat kecil, dan yang tertua masih kuliah di universitas. Beberapa tahun setelah ayah saya meninggal, rasanya semuanya tidak stabil, termasuk situasi ekonomi keluarga yang semakin memburuk, hal ini kemudian memaksa saya untuk berpikir lebih keras, ketika anak-anak seusia saya masih bisa bermain dengan bebas, saya harus memikirkan bagaimana mendapatkan pemasukan tambahan, layaknya tanaman, saya berkembang prematur.


Beberapa tahun berlalu, Nendy menyelesaikan pendidikan SMA-nya di sebuah sekolah yang tidak terlalu terkenal di Desa Anjani, kemudian memutuskan untuk memendam niat melanjutkan pendidikan.


"Jika semuanya harus dibiayai dari sisa gaji pensiun almarhum ayah saya, yang bahkan itu tidak cukup untuk makan delapan orang selama satu bulan, selain itu saya menyadari bahwa peran ayah harus digantikan oleh putra terbesar dalam keluarga dan kebetulan itu adalah saya." tutur Nendy mengenang masa-masa kelam kehidupannya.


Memang tidak mudah, menempuh jalan yang belum pernah terpikirkan sebelumnya, pergi ke luar negeri adalah pilihan terakhir, bagi anak berusia delapan belas tahun seperti Nendy yang seharusnya duduk manis di perkuliahan. Takdir berkta lain, kondisi keluarga memaksa tubuh mudanya untuk berurusan dengan buah sawit yang dikatakan memiliki berat 50 kg bahkan hingga 80 kg per buah.


Namun, suka atau tidak, hidup harus terus berjalan. Sehingga pada tanggal 14 November 2012, Nendy meninggalkan keluarganya setelah dua bulan sebelumnya menjalani prosedur pendaftaran untuk menjadi pekerja migran Indonesia (PMI) di P3MI di Nusa Tenggara Barat dengan tujuan perkebunan Labu Baru di Negeri Sembilan, Malaysia. Perjalanannya baru akan dimulai.


Tiba di negara Malaysia, Nendy rindu rumah, "Saya sangat merindukan keluarga saya dan segala sesuatu tentang lingkungan saya, saya perlu waktu untuk menyesuaikan diri dengan diri saya dan lingkungan baru. Butuh empat bulan untuk beradaptasi dengan lingkungan saat berada di lapangan, bertemu orang-orang baru dari berbagai negara, memahami cara berkomunikasi dan bagaimana bekerja dengan baik dan benar. Saya melakukannya dengan sabar." kata Nendy.

Jejak Petualangan Nendy, Garda Depan Pekerja Migran Anjani
Foto: Potret Nendi (Tengah) bersama teman-temannya sebelum berangkat ke Malaysia (Facebook / Nendi Wahyu)

Dua tahun berlalu, Nendy tidak memperpanjang kontrak seperti teman-temannya yang lain yang juga ikut dari Lombok. Banyak dari mereka yang mencoba untuk membuat Nendy tetap bekerja di tempat tersebut, mengatakan bahwa "Di Lombok tidak ada pekerjaan, mencari pekerjaan itu sulit, gajinya sangat rendah, tidak ada asuransi apalagi bonus tahunan dan sebagainya". 


Nendy tidak terpengaruh, ia tetap pada mimpi awalnya, "Saya harus pulang, saya memiliki mimpi untuk dikejar, saya ingin kuliah, mimpi ini harus diselesaikan. Saya ingin membangun kapasitas saya, kembali ke lingkungan yang penuh narasi dan pengetahuan, karena saya tidak punya tanah atau emas, dan bahkan uang di bank, maka saya percaya bahwa hanya pendidikan dan pembelajaran yang akan mengubah hidup saya dan keluarga saya di masa depan."



Nendy Kembali untuk Bergelut Dengan Cita-cita, Rumah dan Impian


Pada 12 November 2014, Nendy kembali ke rumah di Lombok, 2 (dua) tahun yang singkat dengan banyak perubahan. Ini mungkin seperti sindrom budaya syok. Kampung halaman seperti tempat asing, lokasi nongkrong yang dulunya selalu ramai sekarang sepi, kenalan dan kolega melanjutkan kehidupan masing-masing dengan berbagai profesi. Nendy menyadari bahwa ia jauh tertinggal.


Pada tahun yang sama, Nendy tidak bisa langsung masuk kampus karena penerimaan mahasiswa baru telah selesai. Ia terlambat 2 (dua) bulan dari waktu yang ditentukan oleh kampus, ia harus menunggu tahun depan sebelum bisa mendaftar lagi.


Namun pada tahun 2015, langkah-langkah untuk mengejar mimpi itu terbuka lebar, Nendy meminta izin kepada sang ibu untuk kembali mendaftar di sebuah universitas swasta di Lombok Timur. Hanya dengan sisa Rp 200.000 (Dua ratus ribu rupiah) di dompetnya, "saya mengisi formulir pendaftaran sampai semuanya selesai."


Sebulan kemudian, yang disebut "Almamater Biru" tanda bahwa saya resmi menjadi mahasiswa dikenakan Nendy. "Itu adalah perasaan bahagia yang luar biasa yang dikirimkan Tuhan ke saya tanpa perantara." ucap Nendy


Mengawali perkuliahan dengan rasa heran, melihat mahasiswa senior yang mental kuat, mereka dapat berkomunikasi dengan baik, menyampaikan argumen dengan elegan, dapat menyelesaikan masalah hanya dengan pilihan diksi yang tepat. Itu kemudian menjadi motivasi awal untuk menjadi lebih baik dan bisa mengejar ketinggalan.


Jejak Petualangan Nendy, Garda Depan Pekerja Migran Anjani
Foto: Nendy saat menjadi pembina (BEM) mahasiswa/i baru di Universitas Gunung Rinjani pada tahun 2020 (Facebook / Nendi Wahyu)


Dua tahun berlalu, "Dengan banyak dinamika organisasi kampus intra dan eksternal dan pelajaran yang diikuti, secara tidak langsung membentuk karakter saya" cerita Nendy.


Tidak hanya mengeyam terotikal, Nendy juga menjadi salah satu mahasiswa yang sangat aktif dalam berorganisasi.


Nendy masuk menjadi salah satu anggota mahasiswa pencinta alam (Mapala) yang sudah beberapa kali mendaki puncak terindah Gunung Rinjani dengan kode alam "Ulet Nakal". Dan juga sebagai pengurus BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa).


Pintu Rintis Garda Depan Pekerja Migran Indonesia Desa Anjani


Dengan cara itu, memetakan sumber daya manusia yang akan menjadi mitra lokal dalam melaksanakan program Pemberdayaan Pekerja Migran Indonesia (PMI) bekerja sama dengan ADBMI dan AWO International dengan memanfaatkan warga desa setempat sebagai aktor utama dalam program tersebut.


Dari situlah semangat melakukan sesuatu untuk masyarakat mulai muncul, selain melihat kondisi masyarakat yang menjadi "Pekerja Migran" yang tidak pernah disebutkan sama sekali dalam rapat pengambilan kebijakan desa, mereka selalu menjadi masyarakat yang terisolasi, mereka dilupakan, masalah dan kasus yang mereka hadapi dibiarkan seperti itu. hanya tidak ada jalan keluar.


Berdasarkan hal di atas, pada tanggal 8 Februari, Nendy mengikuti rapat desa pembentukan Lembaga Sosial Desa (LSD) Anjani yang dihadiri oleh 8 (Delapan) Kepala Daerah, Pemerintah Desa serta perwakilan tokoh dan pemuda di desa Anjani.


Dan hari itu ia dipilih secara demokratis oleh peserta rapat dari tujuh perwakilan lainnya,  Nendy terpilih sebagai ketua Lembaga Sosial Desa Anjani atau yang saat ini lebih dikenal dengan nama LSD Anjani.


"Tentu saja saya tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, ADBMI juga merespon dengan baik dengan strategi yang luar biasa. Semangat yang saya miliki terus dipupuk dengan pengalaman dan pengetahuan, belum lagi saya diberi kesempatan untuk mengikuti kursus pelatihan yang sedang diadakan, saya merasa siap untuk siap mental dan solid dari segi ilmu." tutur Nendy.


Setahun berlalu Nendy menjadi pengurus LSD Anjani, dari bantuan dan bekal yang telah diberikan, Nendy merasa siap turun ke lapangan untuk mempraktekkan penanganan kasus, terlibat langsung dalam advokasi isu "Pekerja Migran" dan akhirnya untuk pertama kalinya,  kami membela hak-hak pekerja migran perempuan dari Dusun Anjani Timur, yang dokumennya dipalsukan dan ditampung di Jakarta selama tiga bulan, dipulangkan dengan biaya keluarga dari tempat penampungan karena tidak sesuai dengan perjanjian.


Jejak Petualangan Nendy, Garda Depan Pekerja Migran Anjani
Foto Bersama: nendy bersama seluruh anggota lembaga Sosial Desa (LSD) Anjani pada perayaan 3 tahun berdirinya LSD Anjani di Aula Kantor Desa Anjani tahun 2021 (Facebook / Nendi Wahyu)


"Setelah kembali ke rumah, Tekong meminta kompensasi hingga puluhan juta. kami membantu mendampingi CPMI (Calon pekerja Migran Indonesia), kami menyelesaikannya dengan mediasi dari kedua belah pihak agar tidak merugikan PMI dan memberikan efek jera bagi tekong yang tidak bermoral yang merekrut tidak sesuai prosedur yang berlaku."


"Benar saja, setelah itu, LSD Anjani disambut dengan kasus kedua, ketiga, keempat. Dengan kasus-kasus yang bervariasi, mulai dari penipuan, pemalsuan dokumen, penggelapan uang hingga indikasi perdagangan manusia (TPPO), kami berhasil menyelesaikannya, sehingga hingga saat ini, pada tahun 2023 total ada 40 (Empat puluh) kasus PMI yang telah diselesaikan secara tuntas oleh Lembaga Sosial Desa Anjani." tambah Nendy.


Tentunya tetap mendapat arahan dari ADBMI bekerja sama dengan seluruh pemangku kepentingan terkait, selain itu tidak terlepas dari implementasi isi Perda Desa Anjani No. 6 Tahun 2019 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia yang diinisiasi oleh ADBMI dan pendampingan oleh lembaga sosial desa/LSD.



Pepatah "Makin Tinggi Pohon, Semakin Kencang Angin", Sangat Terasa


Bukan tanpa kendala, banyak hal yang terlewatkan, dari semua hasil yang kini terlihat dan dirasakan oleh masyarakat, ada perjalanan panjang di balik itu semua, LSD Anjani pernah diremehkan oleh pemerintah.


Sulit untuk diakui secara kelembagaan dan sulit untuk masuk ke dalam penganggaran. Pada awalnya tidak ada yang percaya bahwa LSD Anjani dapat berdampak,  tidak ada yang mengakui keberadaan lembaga yang merupakan satu-satunya yang berdiri tegak paling depan untuk membela hak-hak pekerja migran.


Pada akhirnya semuanya berbalik, LSD Anjani menjawab semuanya dengan kerja keras dan prestasi.


Dalam 3 (Tiga) tahun terakhir, LSD Anjani mampu mengawal program-program besar, yaitu yang pertama mampu mengawal Desa Anjani menjadi Desa Migran Produktif, salah satu dari 50 desa di Indonesia yang mendapatkan gelar dan program dari Kementerian Pekerja Republik Indonesia,


Kedua, Desa Anjani merupakan salah satu dari 6 (Enam) desa di Indonesia yang menerima Anugerah Desa Sejahtera Migran dari PT Semut Nusantara.


Hal di atas telah membawa LSD Anjani saat ini menjadi lembaga yang keberadaannya diperhitungkan baik oleh pemerintah maupun masyarakat Desa Anjani, LSD Anjani selalu terampil dan berhasil merespon permasalahan di masyarakat dengan berjuang tegak di jalur kegunaan.


Di dalam lingkaran pendidikan, Advokasi dan Sosial sebagai nada perjuangan bagi masyarakat, khususnya Pekerja Migran Indonesia (PMI) dan keluarganya. Impian besar Nendy terhadap LSD Anjani akan menyusul rilis.



Catatan Pendamping Lapangan (2023)

152 tampilan2 komentar

2 comentarios

Obtuvo 0 de 5 estrellas.
Aún no hay calificaciones

Agrega una calificación
Invitado
19 ago
Obtuvo 5 de 5 estrellas.

Mohon diperhatikan point of view nya..apakah org pertama atau ketiga krn masih bercampur..demikian saran dari kami..

Me gusta
Contestando a

Terimakasih atas masukannya, penulis sudah memperbaiki tulisannya :)

Me gusta
bottom of page