top of page

Duet Seru Pemerintah dengan PJTKIS

Oleh : Widy Harwin |

Dalam dunia per-TKI-an, sejarah gerakan advokasi telah lama mewarnai dinamika peradaban manusia. Bahkan gerakan buruh menjadi salah satu bagian yang penting bagi kekuatan sosial yang berperan aktif dalam merubah kebijakan politik, ekonomi & sosial pemerintahan, khususnya di Indonesia. Suara-suara pedih dan perih dari setiap buruh di Indonesia yang terendap sekian lama tertumpah ruah setiap tanggal 1 Mei di depan para pemuka pemerintahan (biasanya sih pada rame-rame ngumpul di Gedung DPR, yang katanya mewakili rakyat, gak tau deh rakyat yang mana, hihi). Suara-suara yang lantang berselimut kepedihan tersebut terkadang hanya masuk ke telinga kiri kemudian keluar dari telinga kanan para pejabat rakyat. Namun tak sedikit pula yang terpental begitu saja bahkan menguap beberapa detik setelah suara tersebut keluar dari mulut-mulut para buruh yang hidupnya mungkin jauh lebih buruk dari buruh yang semestinya. Berita baiknya sodara-sodara, kini bukan hanya kalangan buruh/mantan buruh yang rela mati-matian memperjuangkan hak mereka, namun kalangan masyarakat biasa yang juga peduli dengan nasib buruh kini banyak menggandeng dan mendampingi keluarga buruh untuk ikut turun menyuarakan nasib buruh dalam berbagai bentuk dan melalui berbagai media dengan satu harapan yang sama, pemerintah memberi perlakuan yang adil kepada buruh, sama seperti ke kalangan masyarakat lainnya.

Sebagai contoh ni, kebanyakan dari kita, begitu mendengar kata “buruh”, langsung mencibir, memandang rendah dan sebagainya tanpa menyadari bahwa diri sendiri juga sebenarnya adalah seorang buruh. Padahal nih, pada dasarnya, buruh, pekerja, tenaga kerja maupun karyawan adalah sama. Hal ini terutama merujuk pada Undang-Undang Ketenagakerjaan yaitu UU No. 13 tahun 2003 Pasal 1 poin 3 yang berbunyi  “pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain”, yang berlaku umum untuk seluruh pekerja di Indonesia. Namun sayangnya, dalam kultur Indonesia yang katanya masih kultur ketimuran alias masih mengedepankan sopan dan santun, buruh berkonotasi sebagai pekerja rendahan, hina, kasaran dan sebagainya. Sedangkan pekerja, tenaga kerja dan karyawan adalah sebutan untuk buruh yang lebih tinggi, dan diberikan cenderung kepada buruh yang tidak memakai otot tapi otak dalam melakukan kerja. Ada apa dengan Indonesia?. Puncak dari “pandangan sebelah mata” tersebut yang kemudian memicu lahirnya gerakan advokasi yang mendorong lahirnya perubahan dalam dunia buruh di Indonesia yang merangkul seluruh buruh/pekerja asal negara Indonesia. Semangat 1 Mei!

Menurut pernyataan salah satu blogger, gerakan buruh sendiri dapat diartikan sebagai perjuangan dari kelas pekerja yang sadar dengan sekumpulan ide, gagasan, sistem nilai dalam memperjuangkan kepentingan kelas pekerja dan nilai-nilai universal, baik itu keadilan, kebebasan dan kesejahteraan. Oleh karena itu sebagai bagian dari masyarakat yang memiliki kesadaran, sudah tentu gerakan buruh dapat melihat dan merasakan tata struktur masyarakat yang tidak adil dan ingin merubahnya. Ya betul, tata struktur masyarakat yang tidak adil. Pembaca tahu dengan pasti, katanya, ”yang menang yang berkuasa”, begitulah hukum rimba yang kini juga berlaku hampir di setiap lini kehidupan manusia. Berlaku juga pada masalah tata struktur masyarakat. Gaya hidup kalangan yang berkuasa seringkali secara tidak langsung menyetir gaya hidup masyarakat umum. Gaya para sosialita, sebutan baru buat para orkay, alias konglomerat seakan menjadi standar umum bagi semua kalangan masyarakat. Tuntutan keinginan yang diklaim menjadi sebuah kebutuhan bagi masyarakat membuat kita terkadang menghalalkan segala bentuk tindakan yang sebenarnya diharamkan (ex: KKN) yang dibungkus sedemikian rapinya oleh pelaku hingga terkadang kita berpikir bahwa hal tersebut adalah biasa, lumrah, wajar, ujung-ujung, jadi halal. Aduh! Dalam pandangan saya sendiri, perubahan-perubahan gaya hidup ini tidak lain adalah pengaruh dari sistem pemerintahan kita yang tidak jeli atau tidak peka melihat perubahan kebudayaan pada masyarakat kita. Kemajuan teknologi, fashion dan lainnya dibiarkan berkembang begitu saja tanpa diiringi dengan peningkatan mutu kehidupan masyarakat yang terpapar secara langsung oleh budaya-budaya luar yang masuk ke Indonesia. Alhasil, masyarakat bawah yang tidak mampu beradaptasi dengan budaya tersebutlah yang menjadi korban penindasan secara tidak langsung oleh masyarakat menengah ke atas. Dalam hal ini komposisi dari masyarakat bawah didominasi oleh keluarga buruh baik yang di dalam negeri maupun luar negeri.

Malangnya nasib kaum buruh di Indonesia, khususnya buruh migran atau sekarang lebih tenar dengan kata TKI (Tenaga Kerja Indonesia) yang bekerja di luar negeri, diperparah oleh berbagai macam birokrasi dari pemerintahan kita yang semakin menjelimet, ribet dan kurang cepet. Mulai dari proses pengurusan dokumen keluarga, dokumen terkait migrasi, dokumen terkait bekerja dan semacamnya sampai alur penyelesaian masalah yang dihadapi TKI baik di negara penempatan maupun di negara asal yang harus disesuaikan dengan peraturan pemerintah dari dua negara berbeda mulai dari UU, Perpres, Permen, Perda, dan segudang “per-per” lainnya yang sudah diatur sedemikian rupa menjadi bentuk yang lebih sederhana namun tetap saja masih belum cukup efektif untuk mengatur seluruh dokumen terkait TKI. Hal inilah yang sebenarmya membuka peluang yang sangat besar untuk  terjadinya penipuan oleh oknum-oknum tertentu baik dari pihak-pihak swasta dalam hal ini yaitu PPTKIS bahkan pemerintahan mulai dari pemerintahan tingkat desa. Dan yang jauh lebih parah lagi, penipuan yang kini bahkan terlihat lumrah/biasa di kalangan masyarakat, masih menjadi pilihan banyak para calon TKI yang ingin bekerja ke luar negeri karena prosesnya jauh lebih cepat dengan kerjasama yang sangat baik antara oknum pemerintah dengan PPTKIS yang nakal. Iming-iming pekerjaan yang terkesan akan mendatangkan berbendel-bendel Rupiah dalam waktu yang digambarkan sangat singkat dan mudah dari mulut sang calo/tekong menjadi pemanis dalam setiap pencarian korban oleh para tekong. Respon dari para calon TKI yang masih awam informasi migrasi yang benar seperti apa dan bagaiman kemudian serta merta berbinar-binar seperti akan mendapatkan durian runtuh. Dari tidak berniat menjadi berniat, dari tidak ingin menjadi ingin, dari tidak punya modal menjadi punya modal. Sang tekong dengan keyakinan dan backup yang kuat dari oknum tertentu pun seketika menyadari hal tersebut dan akan semakin liar beraksi hingga mendapatkan beberapa data yang diperlukan dari si calon korban. Dan akhirnya, terperangkaplah si korban dalam proyek si tekong.

Suatu ketika, jika kemudian si korban mendapatkan masalah atau komplain pada saat sebelum berangkat atau saat di negara penempatan atau saat pulang kembali ke negara asal, coba tebak siapa yang bertanggungjawab? Pemerintah luar negeri? Pemerintah kita? Atau PPTKIS?

Alurnya kurang lebih seperti ini, si tekong sudah pasti dicari-cari oleh korban atau keluarganya, si tekong yang mungkin akan berusaha terlihat baik di depan korban akan membawa permasalahan tersebut ke bosnya atau malah langsung menuding pemerintah terkait sebagai orang yang akan bertanggungjawab, si korban atau keluarganya kemudian mencari kebenaran di pemerintah tersebut, dan pemerintah akan memaparkan bergudang-gudang penjelasan mengenai kesalahan korban yang tidak mematuhi bergudang-gudang pula peraturan pemerintah selama masa perekrutan sampai pulang kembali ke Indonesia. Si tekong dan PT/PJTKI-nya tetap anteng, pemerintah aman. Si korban hanya mampu bertahan dengan 6 huruf yaitu P, A, S, R, A, H.

Yang banyak sekali terjadi tepatnya seperti ini sodara-sodara.
0 tampilan0 komentar

Postingan Terkait

Lihat Semua

תגובות

דירוג של 0 מתוך 5 כוכבים
אין עדיין דירוגים

הוספת דירוג
bottom of page