top of page

Banteng Belage Jami Lesaq

“Banteng Belage Jami Lesaq, artinya Banteng beradu Jerami lebur”

Oleh : Roma Hidayat |

Sesenggak Sasak Purba itu entah di produksi oleh siapa, namun masyhur di gunakan oleh halayak. Pesan dalam pemeo tersebut adalah ; jika orang kuat/berpengaruh/Pemimpin (dianalogikan sebagai hewan Banteng) bertarung/berkonflik, maka   orang ramai atau rakyat jelata yang di analogikan  dengan rumput jerami akan terimbas sebagai korban. Namun, yang tidak di eksplorasi serta eksplisit di muat dalam pemeo ini adalah,  analisis dampaknya, yaitu Pada gilirannya, ketika Jerami/Rumput sudah rusak, Banteng akan menjadi mati juga karena tidak ada yang ia makan lagi. Pada kenyataannya, Sapi tidak akan pernah mau memakan rumput/jerami yang sudah rusak apalagi tercemar oleh aktivitasnya sendiri ; di duduki/injak/beraki oleh si Sapi sendiri. Dan Sejarah telah menunjukkan  pada kita atas aksioma  dari  pemeo ini. Hamparan kejadian-kejadian mutakhir menjadi bukti empirik.

Tapi kenapa Hewan BANTENG (Banteng adalah Sapi jantan)  dan rumput Jerami yang di ambil sebagai Analogi oleh para tetua Sasak Purba dahulu ?. Bukankah masih banyak mahluk  Tuhan lain yang dapat jadikan pengibaratan. Kenapa Bukan Anjing misalnya ; BASONG BEGARANG, PUPAK/REREBU EWOL (Anjing berkelahi, Rumput rusak).  Agak menarik, karena Banteng dan Jerami berada dalam hubungan yang unik. Di tilik dari teropong rantai makanan, Banteng berada di atas rumput, namun demikian, relasi simbiose mutualisme mutlak terbangun. Dan bahkan, meskipun dalam struktur, banteng berada di atas, namun dalam kenyataannya, banteng tak dapat hidup tanpa rumput/jerami. Dan sebaliknya, rumput/jerami/padi meskipun bisa tumbuh tanpa banteng, namun akan tumbuh dengan subur dan berbuah lebat dengan keberadaan kotoran sapi yang telah terfermentasi menjadi kompos.  Sementara Basong/Anjing oleh karena doktrin agama yang menempatkannya dalam barisan yang hewan ciptaan Tuhan yang haram di makan, dan barang apapun yang sudah berinteraksi dengan si anjing , yang di syakwasangkakan padanya menetes liur, ludah, muntah, kotoran dan kencing anjing tersebut juga ikut haram untuk di sentuh sebelum di sucikan. Doktrin ini, tidak menganjurkan penganut islam untuk menghilangkan sikap welas kasih, prilaku yang baik atas binatang. Namun di Pulau Lombok , doktrin ini telah menyebabkan nasib Anjing tak sebaik Sapi .

Pemakaian Sapi ini sekali lagi membuktikan, betapa halusnya budi bahasa orang Sasak  serta manifestasi penghormatan orang sasak terhadap para pemimpin (Hanya Banteng lah hewan liar paling kuat yang hidup dan di kenal di pulau Lombok). Di sisi lainnya, Sapi dan Jerami memiliki kedekatan dan kedudukan philoshopis, ekonomis dan sosial dalam masyarakat Sasak. Keduanya menjadi simbol dan ukuran kesejahteraan, strata sosial dari sesorang di tengah masyarakatnya. Bisa di katakan, kehidupan dan perkembangan peradaban bangsa Sasak berbasis pada hewan dan tumbuhan jerami. Dengan Sapi lah, orang Sasak ngaro (proses Produksi), dan oleh kepentingan ternak Sapi inilah, sebuah perkampungan bertumbuh (Proses inisiasi Perkampungan  di mulai dari tahapan pano, berepok, begubug). Orang Sasak tidak bisa jauh dari Sapi,  bahkan tidak ada jarak antara Rumah dan kandang Sapi. Keberadaan kandang Sapi, menjadi momentum penanda cikal  bakal Pemukiman.

Dalam kehidupan tradisional yang masih  dapat kita temukan sekarang ini di pelosok desa, dalam pembicaraan nari (Pendekatan kepada fihak keluarga dan calon mempelai Perempuan yang hendak di Sunting menajdi isteri) : berapa   ekor sapi dan jumlah hektar Sawah tempat menanam padi, berapa ikat panen padi yang di miliki oleh si pria akan menjadi materi bargaining yang biasanya di tekankan dan di ulang-ulang untuk menarik atau memperoleh persetujuan keluarga serta calon mempelai perempuan (Apakah ini menunjukkan, bahwa Sasak sesungguhnya memiliki kecenderungan budaya materialistik?).  Sapi dan Jerami juga hadir sebagai material utama dalam arsitektur Rumah orang Sasak. Jerami dan Kotoran Sapi di campur dengan tanah sebagai lantai dalam rumah. Di mana, Jerami berfungsi sebagai perekat, dan kotoran Sapi dalam jangka panjang efektif mengusir nyamuk dan mempertahankan  temperatur dalam rumah.

Philosopi relasi antara Pemimpin dan Warga yang di pimpin pada hakikat dan idealnya mestinya mengadopsi relasi banteng dan Jerami/rumput. Tanpa Jerami, banteng akan mati kelaparan. Artinya, Tanpa Orang banyak/rakyat, pemimpin tidak akan berarti dan tidak akan pernah ada. Sapi bahkan rela menjadi penarik bajak untuk menyuburkan kehidupan jerami pada fase awal pengolahan tanah (ngaro). Apa yang Sapi makan (Rumput) akan kembali menjadi kebaikan rumput itu sendiri (kotorannya dalam bentuk Kompos).  Oleh karenanya, sudah seharusnya seorang pemimpin di tuntut untuk sanggup berkorban, Melayani (menjadi penarik bajak ), bukan menjadi benalu dan hanya bisa mengambil dari Rakyatnya , tapi tidak bisa memberikan umpan balik (feed back)  yang bermanfaat untuk kehidupan rakyatnya.

Kalaulah kumpulan hewan bernama Sapi yang karena  nir akal di kastakan lebih rendah di banding manusia, namun tidak alpa budi, tahu cara berterima kasih, tahu bagaimana ia memberi manfaat atas kehadirannya bagi sekitar, semestinya manusia bisa melebihi itu. Manusia yang hendaknya menjadi pemimpin, tidak di nilai dari kecerdasan akal fikirannya, namun kecerdasan dan sensitifitas budi dan tindak tanduknya.  Kita Membutuhkan Pemimpin yang bisa berterima Kasih. Setelah di angkat orang banyak dengan cara di berikan suara lewat pemilihan, di berikan jaminan hidup berupa gaji yang di bayarkan dari pajak yang secara rela maupun berat hati di keluarkan oleh rakyat, di berikan fasilitas mewah untuk bekerja (bahkan fasilitas yang di berikan itu sendiri tidak pernah di miliki apalagi di nikmati oleh si rakyat yang notabenenya pemberi fasilitas itu  sendiri). Bukan sebaliknya menjadi benalu, yang bisanya menyulitkan dan menyengsarakan saja,  sudah di beri tumpangan , masih tetap menghisap makanan yang mestinya milik phon pemberi tumpangan. Tak peduli Pohon induk tempat ia menumpang mati. Dan kalau sudah begitu, maka si benalu juga hanya tinggal menunggu giliran juga untuk mati.

Akhirnya. Berhati-hatilah para pemimpin. Jangan gemar melibatkan orang banyak dalam konflik, apalagi konflik pribadi. Apalagi mentang-mentang merasa punya banyak pendukung lalu mengumbar bibit konflik. Karena pada akhirnya, setelah semua rumput ini mati. Maka kamu juga akan ikut mati.

0 tampilan0 komentar

Postingan Terkait

Lihat Semua

Comments

Rated 0 out of 5 stars.
No ratings yet

Add a rating
bottom of page